Minggu, 29 November 2020

attaqwa putra

Pondok Pesantren Attaqwa adalah pondok pesantren tertua di Bekasi. Adalah saksi sejarah perjuangan sang pendirinya, yaitu Almaghfurlah Bapak KH. Noer Alie. Hampir semua orang Bekasi hafal diluar kepala dimana pesantren itu berada. Maklum Almagfurlah Bapak KH. Noer Alie bagaikan Bapak Spiritual Warga Bekasi, sampai-sampai namanya sendiri, lebih di kenal di banding nama pesantren yang dibangunnya, yaitu Pondok Pesantren Attaqwa. Berawal dari sebuah masjid disamping rumah KH Noer Alie, kini Pondok Pesantren Attaqwa terbentang seluas 24 HA. 16 HA untuk santri putra dan 8 HA untuk santri Putri, antara Pondok Putra dengan Pondok Putri berjarak kurang lebih 300M, dengan lokasi yang terpisah dan dewan guru yang berbeda, hal ini dimaksudkan agar, para santri baik putra dan putri mendapatkan perhatian yang optimal dari pengurus pondoknya masing-masing.Pondok Pesantren Attaqwa Putra yang berusia lebih dari setengah abad ini telah banyak berkiprah dalam pembinaan ummat khususnya pendidikan. Sepeninggal Almaghfurlah Bapak KH. Noer Alie, Pondok Pesantren Attaqwa Putra diasuh oleh putranya yang kelima, yakni Abuya KH Nurul Anwar, beliau tidak hanya terjun membina para santri, tapi juga mengabdikan dirinya pada masyarakat, memimpin pengajian di beberapa majlis taklim atau masjid yang berada di Bekasi dan sekitarnya. KH. Noer Alie sebagai pendiri Pesantren ini, menginginkan para santrinya menjadi ummat yang Benar, Pintar dan Terampil, dan kemudian ini dijadikan visi dan misi Attaqwa, sehingga dalam metode pendidikan di Pesantren ini di kenal dengan kolaburasi system kurikulum Timur Tengah dan kurikulum dalam negri. Dan untuk penanganan para santri secara maksimal, maka pada tahun 1998, Pondok Pesantren Attaqwa Putra di bagi menjadi dua lembaga, yaitu Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Juga pada awal tahun 2016, Pondok Pesantren Attaqwa Putra membuka Lembaga Tahfidzul Qur’an. Profil Pondok Pesantren Attaqwa Putra Bicara soal Pondok Pesantren Attaqwa tentu kita mengenang nama Ujungmalang (dahulunya Ujungharapan) dan KH. Noer Alie. Bagaimana sejarah singkatnya? Berawal dari sebuah kampung di pinggir Utara Bekasi, yang bernama Ujungmalang. Sebagai cikal-bakal Ujungharapan, sebuah daerah yang sejuk dan damai, keramah-tamahan masyarakatnya terlihat jelas dari kehidupan sehari-hari penduduknya. Di antara sekian banyak penduduk yang tinggal di kampung tersebut, terdapat sebuah keluarga yang sangat harmonis, rukun dan taat beragama, dari keluarga inilah lahir seorang anak yang kelak akan menjadi seorang tokoh kharismatik, seorang ulama yang juga sekaligus sebagai pejuang kemerdekaan “Noer Ali” namanya, seorang anak yang memiliki tekad kuat, untuk menciptakan kampung Ujungmalang menjadi “Kampung Syurga”. Ia dilahirkan pada tanggal 15 Juni 1913 dan merupakan anak ke empat dari pasangan H. Anwar bin H.Layu dan Hj. Maimunah binti Tarbin. Noer Alie kecil tumbuh dan berkembang layaknya anak-anak lain pada umumnya. Sejak kecil, ia sudah memiliki kelebihan-kelebihan di banding anak-anak lain seusianya. Sejak kecil ia sudah gemar belajar ilmu-ilmu agama dan pada usianya yang ketujuh atau sekitar tahun 1921 ia belajar pada guru H. Ma’sum di Ujungmalang sampai tahun 1923, kemudian pada tahun 1923-1929 ia belajar pada KH. Mughni, dari KH. Mughni inilah ia mengenal KH. Ahmad Marzukih di daerah Cipinang Jakarta Timur dan belajar kepada beliau pada tahun 1929-1933. Di tempat inilah Noer Alie mengenal sejumlah teman, yang kelak menjadi ulama terkenal di bilangan Jabotabek, diantaranya adalah Abdullah Syafi’ie, Abdurahamn Sodri, Mukhtar Thabrani, Hasbialloh dan lain-lain. Bakat kepemimpinan Noer Alie memang sudah menonjol sejak kecil, ia tak mau berada di belakang di saat bermain, sehingga dalam sebuah kesempatan ia senantiasa menjadi pemimpin.

Sabtu, 17 November 2012

DIJUAL MURAH - KOSONGIN GUDANG

Dijual cepat : 1. Antena Omni 2.4GHz 15dBi Hyperlink HG2415U-PRO - Rp. 650.000 (second) 2. Mesin Press Pin Talent 3 moulding 44, 58, dan 75 Rp. 2.000.000 (second - baru dipake bikin 500 buah pin) Harga belum termasuk ongkos kirim. Posisi barang di Bekasi Yang serius hubungi : WIJO BUDI PRASAJA 085286445590 YM/email : boemen74@yahoo.com

Jumat, 11 Maret 2011

" NGALAH LUHUR WEKASANE "

Itu nasehat yang penulis sering dengar di waktu kecil, tapi belum begitu bisa meresap secara hakiki.

Nafsu masih kekeuh untuk menyatakan sayalah yang benar (karena secara fakta dan realita memang benar adanya).

Tetapi manakala berhubungan persoalan dengan sesama kadang tidak sedikit tidak semua orang bisa menyadari kesalahan sehingga kalau diteruskanpun akan muncul yang namanya berantem.

Kadang emosi tentu akan selalu mengajak untuk mempertahankan karena memang benar adanya.

Tetapi ada juga pepatah jawa yang mengatakan NGALAH LUHUR WEKASANE iku mau tapi kok ya belum bisa ikhlas benar rasanya.

Rasa apa..... yang didapat seandainya berani "MENGALAH".



Renungan Sabtu..

Rabu, 09 Februari 2011

REBUTAN BENER

Musim/jaman sudah semakin komplit

Kosa katapun sudah semakin kompleks sarat dengan ribuan makna yang selalu berkembang.

Olah pikir, cipta karsa manusiapun semakin canggih

Rasa Ke -AKUAN - pun semakin terbentuk

Pepatah : WONG JOWO ILANG JAWANE yo wis memper.

Wong wis ora rikuh pakewuh (banyak yg menilai negatif rikuh pakewuh) tetapi dengan hilangnya rikuh pakewuh maka orang akan senang bila dikatakan yang "PALING".

Sebagian besar wis merasa "SING PALING" (Bener, Pinter, Cerdas, Bersih.... dst)

Padahal jelas-jelas Menungsa (manusia) --> tempatnya salah dan lupa.

====== Sang Penciptalah sang Maha Segala Maha (ora ono sing nglewihi)========

Tapi apa yang terjadi, rata-rata sudah lupa dengan point di atas.

Monggo tambahan untuk renungan.

Minggu, 02 Januari 2011

Menjadi Manusia yang Pandai Bersyukur

Oleh: Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Ketika kita menggemakan takbir-terutama saat berhari raya-tersirat pemahaman bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah Mahabesar, sementara kita yang diciptakannya adalah kecil. Kita hina dan tak punya daya dan kekuatan untuk berkiprah, kecuali karena kemurahan dan kebesaran Allah. Karena itu, ketika kita telah merampungkan sebuah perjuangan (baca; Ramadhan), maka perbanyaklah takbir.

“Dan hendaklah bertakbir atas anugerah yang telah Allah berikan. Semoga kalian menjadi hamba-Nya yang bersyukur.” (QS al-Baqarah [2]: 185). Ayat ini merupakan satu rangkaian dengan perintah puasa (QS [2]: 183).

Ramadhan mencetak kita menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Dan orang yang bertakwa, akan senantiasa mengingat kebesaran Allah, termasuk semua nikmat yang telah diberikan kepadanya.

Di lidah ia mengucapkan kalimat takbir, dalam amal perbuatan ia menerjemahkannya dengan rasa syukur. Karena itu, menjadi pribadi yang bertakwa belum cukup bila tidak dibarengi dengan pribadi yang bersyukur. Kenapa? Karena maqam syukur lebih tinggi dari maqam takwa. Sebab, syukur menjadi maqam-nya para nabi dan rasul. Karenanya, Allah menegaskan, hanya sedikit dari hamba-Nya yang pandai bersukur (QS Saba [34]: 13).

Syukur merupakan satu stasiun hati yang akan menarik seseorang pada zona damai, tenteram, dan bahagia. Ia juga akan mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat, sekaligus mendapatkan insentif pahala dan kenikmatan yang terus bertambah dari Allah SWT (QS Ibrahim [14:] 7).

Rasul SAW adalah manusia yang pandai bersyukur. Suatu ketika, beliau pernah ditanya Bilal, “Apakah yang menyebabkan baginda menangis, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa baginda, baik yang dahulu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab, “Tidakkah engkau suka aku menjadi seorang hamba yang bersyukur?”

Dzunnun al-Mishri memberi tiga gambaran tentang manifestasi syukur dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, kepada yang lebih tinggi urutan dan kedudukannya, maka ia senantiasa menaatinya (bit-tha’ah). “Hai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada ulil amri di antara kalian …” (QS an-Nisa [4]: 59).

Kedua, kepada yang setara, kita mengejawantahnya dengan bil-hadiyyah. Saling tukar pemberian. Kita harus sering-sering memberi hadiah kepada istri atau suami, saudara, teman seperjuangan, sejawat dan relasi. Dengan cara itu, maka akan ada saling cinta dan kasih.

Ketiga, kepada yang lebih bawah dan rendah dari kita, rasa syukur dimanifestasikan dengan bil-ihsan. Selalu memberi dan berbuat yang terbaik. Kepada anak, adik-adik, anak didik, para pegawai, buruh, pembantu di rumah dan semua yang stratanya di bawah kita, haruslah kita beri sesuatu yang lebih baik. Jalinlah komunikasi dan berinteraksilah dengan baik, dan kalau hendak men-tasharuf-kan rezeki, berikan dengan sesuatu yang baik (QS as-Syu’ara [26]: 215 dan al-Baqarah [2]:195). Wallahu a’lam

Jadilah Engkau Ahlul Mujahadah

Ibnu Qayyim Al-Jauzi mengatakan, orang-orang yang berhak mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’ itu, tidak mudah. Tentu untuk mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’ itu memerlukan mujahadah dan tajarrud (totalitas). Mujahadah dengan segala jiwa dan raganya agar mencapai maqam yang hendak dituju. Tidak mungkin hanya dapat dicapai dengan bentuk raganya, tanpa jiwa dan bathinnya ikut bermujahadah.

Diantaranya, golongan pertama yang berpendapat, bahwa ibadah yang paling utama dan paling bermanfaat, ialah yang paling berat dan paling sulit atas jiwa. “Karena ia paling jauh dari hawa nafsu, dan merupakan hakikat ta’abud. Pahala diberikan berdasarkan kadar kesulitannya.” Seperti diriwayatkan dalam sebuah hadist, “Amal yang paling utama ialah yang paling sulit dan paling melarat.”

Mereka ini adalah ahlul mujahadah dan orang-orang yang mampu mengendalikan hawa nafsu. Di tengah-tengah beratnya godaan, yang terus-menerus dialami dengan segala bentuknya, dan mereka dapat selamat dari semua godaan, tanpa sedikitpun tersentuh oleh godaan dan hawa nafsu yang datang dari setan. Golongan ini, berkata, “Sesungguhnya jiwa hanya dapat lurus dengan ibadah yang sulit dan berat, karena jiwa mempunyai karakter malas, dan menyukai kerendahan dan kehinaan. Ia tidak dapat menjadi lurus, kecuali dengan melakukan hal-hal yang berat dan memikul kesulitan.”

Meninggalkan segala kenikmatan, kemewahan, angan-angan akan keindahan dunia, harta yang banyak , semuanya harus dipupus. Selain itu, harus meninggalkan orang-orang yang selalu menawarkan kenikmatan, keindahan, pangkat, serta buaian wanita-wanita yang cantik, dan dengan segala bujukan keindahan dan kenikmatan yang selalu ditawarkannya. Semuanya itu hanyalah akan mendera jiwa dan bathinnya,dan tak akan dapat membuat dirinya mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budi wa Iyyaka Nata’in”.

Tidak mungkin dapat mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’ bagi jiwa dan bathin orang-orang yang terus menerus hidupnya dipenuhi dengan khayalan dan dikotori oleh kehidupan dunia, yang tidak pernah henti-henti. Kehidupan dunia hanyalah ambisi orang-orang yang lalai, dan tidak menyukai maqam ‘Iyyaka Na’budu”, karena hakikatnya mereka tidak lagi mempercayai janji dari Allah Azza Wa Jalla. Mereka ini hanyalah menjadi budak dunia, dan kemudian berwala’ (memberikan loyalitasnya) kepada hamba-hamba setan.

Bagi mereka yang menginginkan maqam ‘Iyyaka Na’budu’, hanya dapat dicapai dengan melakukan hal-hal yang berat dan memikul kesulitan. Kesulitan dan beban berat yang harus dipikul, pasti akan bermunculan dalam kehidupan ini, terutama bagi mereka yang ingin mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’, karena tantangan dalam kehidupan jahiliyah, yang tak lagi mengenal batas-batas, yang sudah ditetapkan dalam Qur’an dan Sunnah. Kencintaan pada hawa nafsunya telah membawa mereka meninggalkan segala kebaikan yang bersifat fitrah yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla kepada mereka.

Bagi mereka yang ingin menggapai maqam ‘Iyyaka Na’budu”, orientasi hidup mereka hanyalah mencari ridho Allah. Tidak mencari ridho makhluk termasuk manusia. Ketika, ibadah utama di masa jihad adalah mengutamakan jihad, dan meninggalkan wirid-wirid, seperti shalat malam, dan puasa sunah pada siang hari, bahkan sampai meninggalkan kesempurnaan shalat fardhu seperti dalam kondisi aman. Mereka pergi berjihad di jalan Allah Rabbul Alamin.

Karena mereka tahu bagi mereka yang memiliki maqam ‘Iyyaka Na’budu’, nilai berjihad itu lebih utama, dan akan janji Allah Azza Wa Jalla, di mana akan memasukkan ke dalam surga-Nya, tanpa melalui hisab, bagi mereka yang mati syahid. Betapa indahnya kehidupan bakal digapai kelak di akhirat.

Bagi mereka yang ingin mendapatkan maqam ‘Iyyaka Na’budi’, lebih menyukai bangun malam, melakukan shalatul lail, membaca Qur’an, berdo’a, berdzikir, beristighfar, meninggalkan segala urusan saat datangnya adzan, melaksanakan shalat fardhu dengan penuh ikhlas, dan pergi ke masjid-masjid shalat berjamaah. Mereka tetap shalat berjamaah dalam kondisi apapun. Tidak sekali-kali masbukh. Masjid sebagai ‘Baitullah’ lebih utama dari segalanya. Tidak berarti apapun baginya, kecuali hanya masjid yang berharga bagi kehidupannya, di mana setiap saat sesuai dengan ketentuan Rabbnya, dan selalu melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.

Saat orang-orang membutuhkan pertolongan baik jabatan, fisik, maupun harta, maka ia akan segera memberikan pertolongan, dan berpikir panjang tentang pribadinya, dan mensegerakan kepentingan dari saudaranya yang tertimpa musibah.

Ketika membaca Qur’an, tak ada lagi yang diingatnya, karena Qur’an itu adalah ‘Kalamullah’, dan membaca dengan sepenuh hati, memahami makna-maknanya, dan berjanji melaksanakan semua perintah-Nya. Seperti generasi Salaf, yang terus melaksanakan apa saja, yang diperintahkan oleh Allah Azza Wa Jalla, sehingga mereka mendapatkan kemuliaan dan kejayaan.

Ketika, menjelang hari terakhir di bulan Ramadhan, ia tinggalkan semunya, dan beri’tikaf di masjid-masjid, dan hanya mengharapkan datangnya maghfirah dari Rabbnya. Tidak lagi menyibukkan diri dengan kehidupan dunia, yang justru akan merusak hari terakhir puasa, yang akan membawanya kepada golongan muttaqin.

Mencapai maqam ‘Iyyaka Na’budu’ sebuah perjuangan yang sangat berat bagi manusia. Karena manusia selalu digoda oleh hawa nafsunya, dan sifat malasnya untuk melakukan kebaikan dan mencintai Rabbnya.

Manusia jahiliyah hidupnya hanyalah dipenuhi dengan berebut sekerat kehidupan dunia, yang diakhirat menjadikan mereka golongan yang merugi. Wallahu’alam.

~ Ustadz Mashadi ~ sumber: eramuslim.com

Selasa, 28 Desember 2010

Kehidupan nyanyian

Karena tahu bahaya dikacaukan pikiran, penekun kejernihan memilih terserap dalam-dalam (menyatu) dengan kekinian, kemudian mendengarkan kehidupan sebagai nyanyian (”0lala”). Nyanyian kehidupan serupa langit, ada saatnya terang benderang cerah bercahaya (baca: bersih jernih). Ada kala kelam ditutupi awan gelap (kesedihan). Di waktu lain, langit dibungkus awan putih (kebahagiaan). Namun, awan gelap tak membuat langit jadi hitam. Awan putih tak membuat langit jadi putih. Apa pun yang terjadi, langit tetap biru. Dalam meditasi, ini disebut pencerahan.

Ciri pertama, batin sudah bangun dari tidur panjang (the awakened mind). Terlalu lama batin tidur lelap bersama gonjang-ganjing pikiran. Seolah-olah gonjang-ganjing pikiran itulah kehidupan. Ciri kedua, muncul rasa lapar untuk berbakti kepada yang di atas (devotion), serta berbagi welas asih kepada semua makhluk (infinite compassion). Bagi yang telah sampai di sini mengerti, kebahagiaan tak melakukan penambahan, kesedihan tak melakukan pengurangan. Demi kasih sayang kepada semua makhluk, nyanyian suci kehidupan tetap harus didendangkan.

Jalalludin Rumi punya puisi bagus sekali: ”Kehidupan serupa tinggal di losmen. Setiap hari tamunya berganti. Tapi siapa pun tamunya, jangan lupa selalu tersenyum”. Thich Nhat Hanh menyebut keadaan batin seperti ini present moment wonderful moment. Bila manusia kebanyakan hanya berbahagia jika menjadi majikan, Santo Fransiscus dari Asisi justru damai tatkala menjadi pelayan. Dalam bahasa kebanyakan, orang-orang seperti ini disebut ”berkorban”. Namun, bagi yang melaksanakan, mereka merasa damai sekali menjaga keseimbangan alam. Kadang disebut menyatu dengan nyanyian alam. Di tengah miliaran manusia yang hanya mau menang, harus ada yang mengambil kekalahan. Dalam arus zaman yang mengagungkan kemewahan, harus ada yang mengenakan baju kesederhanaan. Ketika kehidupan bergejolak seperti samudra keriuhan, mesti ada yang istirahat dalam keheningan.

Inti jalan ini hanya satu, melihat, melakoni, mengakhiri kehidupan dengan keindahan. Inilah kehidupan sebagai kidung (nyanyian) suci. Siapa saja yang senantiasa terserap jadi satu ke dalam kekinian, ia akan melihat keindahan di mana-mana.

Makanya tetua Jawa (ditiru tetua Bali) di pekarangan rumahnya sering menanam sawo kecik. Dalam bahasa Bali diterjemahkan menjadi sarwa becik (semuanya baik). Harapannya agar setiap manusia yang bertumbuh di rumah bisa melihat bahwa semuanya baik. Karena demikianlah, orang-orang yang memperlakukan kehidupan sebagai nyanyian suci mengisi kesehariannya dengan praktik kesadaran dan keindahan. Bangun tidur sebagai contoh, dimulai dengan bergumam pelan: ”Hidup adalah sebuah pilihan lengkap dengan konsekuensinya. Bila memilih kemarahan, penderitaan akibatnya. Jika mengisi kehidupan dengan welas asih, maka kebahagiaan hadiahnya”.

Membuka pintu sebagai contoh lain, kelompok ini akan melafalkan renungan: ”Pikiran berisi terlalu banyak burung riuh bernyanyi. Tuhan ditabrakkan dengan setan, orang baik dimusuhkan dengan orang munafik. Dengan membuka pintu ini, biarlah burung-burung riuh itu lepas ke angkasa. Menyisakan batin sunyi-sepi yang menyentuh hati”. Bila dilanda sial, ia akan memanggil guru di dalam diri: ”Guru terima kasih terus-menerus membimbing. Dalam sukacita guru sedang memotivasi. Dalam dukacita guru sedang mengajarkan untuk selalu rendah hati”.

Dalam kehidupan yang diisi praktik kesadaran mendalam, semua tempat jadi tempat suci. Semua suara (termasuk pujian dan cacian) jadi mantra suci. Semua ciptaan jadi makhluk suci.

Sebagai hasil dari praktik mendalam seperti ini, manusia tak saja bisa tersenyum dengan bibir, juga bisa tersenyum dengan mata (baca: memandang semua dengan senyuman). Kadang ada yang menyebutnya memandang kehidupan dengan pandangan mendalam karena penuh pengertian dan permakluman. Hidup sesungguhnya serangkaian kidung suci. Cuma, semakin lama semakin sedikit yang menyanyikan kidung suci kehidupan. Dan di tengah hamparan samudra tangisan di mana-mana (bencana alam, bom teroris, bunuh diri, kriminalitas, korupsi, dan lain-lain), alangkah menyejukkan bila sebagian pojokan kehidupan mendendangkan nyanyian.

http://gedeprama.blogdetik.com/2010/10/01/pencerahan-dalam-perjalanan/
Oleh: Gede Prama