Selasa, 28 Desember 2010

Kehidupan nyanyian

Karena tahu bahaya dikacaukan pikiran, penekun kejernihan memilih terserap dalam-dalam (menyatu) dengan kekinian, kemudian mendengarkan kehidupan sebagai nyanyian (”0lala”). Nyanyian kehidupan serupa langit, ada saatnya terang benderang cerah bercahaya (baca: bersih jernih). Ada kala kelam ditutupi awan gelap (kesedihan). Di waktu lain, langit dibungkus awan putih (kebahagiaan). Namun, awan gelap tak membuat langit jadi hitam. Awan putih tak membuat langit jadi putih. Apa pun yang terjadi, langit tetap biru. Dalam meditasi, ini disebut pencerahan.

Ciri pertama, batin sudah bangun dari tidur panjang (the awakened mind). Terlalu lama batin tidur lelap bersama gonjang-ganjing pikiran. Seolah-olah gonjang-ganjing pikiran itulah kehidupan. Ciri kedua, muncul rasa lapar untuk berbakti kepada yang di atas (devotion), serta berbagi welas asih kepada semua makhluk (infinite compassion). Bagi yang telah sampai di sini mengerti, kebahagiaan tak melakukan penambahan, kesedihan tak melakukan pengurangan. Demi kasih sayang kepada semua makhluk, nyanyian suci kehidupan tetap harus didendangkan.

Jalalludin Rumi punya puisi bagus sekali: ”Kehidupan serupa tinggal di losmen. Setiap hari tamunya berganti. Tapi siapa pun tamunya, jangan lupa selalu tersenyum”. Thich Nhat Hanh menyebut keadaan batin seperti ini present moment wonderful moment. Bila manusia kebanyakan hanya berbahagia jika menjadi majikan, Santo Fransiscus dari Asisi justru damai tatkala menjadi pelayan. Dalam bahasa kebanyakan, orang-orang seperti ini disebut ”berkorban”. Namun, bagi yang melaksanakan, mereka merasa damai sekali menjaga keseimbangan alam. Kadang disebut menyatu dengan nyanyian alam. Di tengah miliaran manusia yang hanya mau menang, harus ada yang mengambil kekalahan. Dalam arus zaman yang mengagungkan kemewahan, harus ada yang mengenakan baju kesederhanaan. Ketika kehidupan bergejolak seperti samudra keriuhan, mesti ada yang istirahat dalam keheningan.

Inti jalan ini hanya satu, melihat, melakoni, mengakhiri kehidupan dengan keindahan. Inilah kehidupan sebagai kidung (nyanyian) suci. Siapa saja yang senantiasa terserap jadi satu ke dalam kekinian, ia akan melihat keindahan di mana-mana.

Makanya tetua Jawa (ditiru tetua Bali) di pekarangan rumahnya sering menanam sawo kecik. Dalam bahasa Bali diterjemahkan menjadi sarwa becik (semuanya baik). Harapannya agar setiap manusia yang bertumbuh di rumah bisa melihat bahwa semuanya baik. Karena demikianlah, orang-orang yang memperlakukan kehidupan sebagai nyanyian suci mengisi kesehariannya dengan praktik kesadaran dan keindahan. Bangun tidur sebagai contoh, dimulai dengan bergumam pelan: ”Hidup adalah sebuah pilihan lengkap dengan konsekuensinya. Bila memilih kemarahan, penderitaan akibatnya. Jika mengisi kehidupan dengan welas asih, maka kebahagiaan hadiahnya”.

Membuka pintu sebagai contoh lain, kelompok ini akan melafalkan renungan: ”Pikiran berisi terlalu banyak burung riuh bernyanyi. Tuhan ditabrakkan dengan setan, orang baik dimusuhkan dengan orang munafik. Dengan membuka pintu ini, biarlah burung-burung riuh itu lepas ke angkasa. Menyisakan batin sunyi-sepi yang menyentuh hati”. Bila dilanda sial, ia akan memanggil guru di dalam diri: ”Guru terima kasih terus-menerus membimbing. Dalam sukacita guru sedang memotivasi. Dalam dukacita guru sedang mengajarkan untuk selalu rendah hati”.

Dalam kehidupan yang diisi praktik kesadaran mendalam, semua tempat jadi tempat suci. Semua suara (termasuk pujian dan cacian) jadi mantra suci. Semua ciptaan jadi makhluk suci.

Sebagai hasil dari praktik mendalam seperti ini, manusia tak saja bisa tersenyum dengan bibir, juga bisa tersenyum dengan mata (baca: memandang semua dengan senyuman). Kadang ada yang menyebutnya memandang kehidupan dengan pandangan mendalam karena penuh pengertian dan permakluman. Hidup sesungguhnya serangkaian kidung suci. Cuma, semakin lama semakin sedikit yang menyanyikan kidung suci kehidupan. Dan di tengah hamparan samudra tangisan di mana-mana (bencana alam, bom teroris, bunuh diri, kriminalitas, korupsi, dan lain-lain), alangkah menyejukkan bila sebagian pojokan kehidupan mendendangkan nyanyian.

http://gedeprama.blogdetik.com/2010/10/01/pencerahan-dalam-perjalanan/
Oleh: Gede Prama

Kamis, 25 November 2010

KUMPULAN RENUNGAN “GEDE PRAMA”

Salon yang Mempercantik Jiwa

Menyusul derasnya jumlah bencana yang menghadang di depan mata, dari tsunami, gunung meletus, bom teroris, lumpur panas, banjir, tanah longsor lengkap dengan jumlah korbannya yang tidak terhitung, tidak sedikit manusia yang bertanya: apakah Tuhan sedang marah? Sebuah pertanyaan sederhana, sekaligus menjadi warna dominan banyak wacana. Dan sebagaimana biasa, jawaban pun terbelah dua: ada yang menjawab positif, ada yang menjawab negatif.
Di Timur telah lama terdengar pendapat, kalau Tuhan penari maka alam adalah tarianNya. Bila demikian, adakah alam yang murka di mata pikiran manusia mencerminkan kemarahan Tuhan?. Entahlah, yang jelas pertanyaan terakhir mengingatkan pada cerita seorang sahabat pastur tentang seorang Ibu yang permennya dicuri puteranya Rio. Melihat puteranya mencuri, Ibu ini bertanya: ‘Rio, tidakkah kamu melihat Tuhan ketika mencuri permen mama?’. Dengan polos Rio menjawab: ‘lihat ma!’. Mendengar jawaban seperti ini, mamanya tambah marah, dan diikuti pertanyaan yang lebih emosi: ‘Tuhan bilang apa sama kamu Rio?’. Dasar seorang anak polos, Rio menjawab jujur: ‘boleh ambil dua!’.
Tentu saja ini cerita yang terbuka dari penafsiran. Dari salah satu sudut pandang terlihat, wajah Tuhan di kepala kita teramat tergantung pada kebersihan batin kita masing-masing. Dalam batin bersih seorang anak polos dan jujur seperti Rio, Tuhan berwajah pemaaf dan pemurah. Dalam batin yang mudah emosi dan curiga seperti mama Rio, wajah Tuhan menjadi pemarah dan penghukum. Hal serupa juga terjadi dalam cara Indonesia memandang bencana.
Tanpa menggunakan kerangka baik-buruk, benar-salah, suci-kotor, tinggi-rendah, banyak guru mengajarkan kalau manusia berada pada tingkat pertumbuhan masing-masing. Dimanapun tingkatannya, semua punya tugas yang sama: bertumbuh!. Tidak disarankan yang sudah sampai tingkatan SMU misalnya kemudian menghina yang baru sampai SD. Tidak juga disarankan kalau yang baru sampai SMP kemudian minder berlebihan pada mereka yang sudah sampai perguruan tinggi. Semuanya bertumbuh. Tidak ada jaminan yang sekarang SMA pasti lebih cepat sampai dibandingkan dengan yang sekarang baru SD misalnya.
Dengan spirit seperti ini, izinkanlah tulisan ini membagi pertumbuhan ke dalam empat pertumbuhan jiwa. Pertama mereka yang menjadi pedagang kehidupan dan pedagang doa. Jangankan dengan Tuhan, dengan siapa saja ia berdagang. Kalau permohonan tercapai maka Tuhan berwajah baik, kalau tidak dipenuhi apa lagi dihadang bencana maka Tuhan disebut marah. Dan dalam pandangan kelompok ini, bencana tidak lain hanyalah Tuhan yang murka pada ulah manusia. Tidak salah tentunya, karena ini bagian dari proses pertumbuhan.
Kelompok kedua adalah pencinta tingkat remaja. Ciri kelompok ini adalah rasa memiliki yang tinggi. Tidak boleh ada orang lain, hanya dia yang boleh dekat dan dicintai Tuhan. Cinta bagi kelompok ini, tidak ada pilihan lain kecuali menyayangi, memaafkan, membebaskan. Tidak dibolehkan. ada ekspresi dari cinta Tuhan selain menyayangi, memaafkan dan membebaskan. Begitu ada wajah cinta yang lain (lebih-lebih berwajah bencana), maka mudah ditebak kemana kehidupan bergerak: benci tapi rindu!. Ini asal muasal pertanyaan sejumlah sahabat yang luka ketika bencana, kemudian bertanya: Tuhan, masihkah Engkau menyayangiku?
Kelompok ketiga adalah pencinta tingkat dewasa. Cinta tidak lagi diikuti kebencian. Cinta adalah cinta. Ia tidak berlawankan kebencian. Lebih dari itu, berbeda dengan kelompok kedua yang menempatkan dicintai lebih indah dibandingkan dengan mencintai, pada tingkat ini terbalik: mencintai lebih indah dibandingkan dicintai. Sehingga bencana, bagi jiwa yang sudah sampai di sini, tidak ditempatkan sebagai hukuman, melainkan masukan tentang segi-segi di dalam diri yang perlu diperbaiki. Dengan kata lain, bencana adalah vitamin bagi bertumbuhnhya jiwa.
Kelompok keempat adalah jiwa yang tidak lagi mencari apa-apa. Bukan karena marah apalagi frustrasi. Sekali lagi bukan. Namun karena melalui rasa berkecukupan, ikhlas dan syukur yang mendalam kemudian dibimbing, kalau semuanya sudah sempurna. Sehat sempurna, sakit juga sempurna. Bukankah sakit yang mengajari menghargai kesehatan secara baik? Sukses sempurna, gagal juga sempurna. Bukankah kegagalan membimbing kita pada puncak kehidupan yang bernama tahu diri? Kehidupan sempurna, kematian juga sempurna. Bukankah kematian adalah mitra makna kehidupan yang membukakan pengertian kehidupan yang jauh lebih dalam? Kaya sempurna, miskin juga sempurna. Bukankah kemiskinan adalah pendidikan untuk tidak sombong dan senantiasa rendah hati? Sehingga dalam jiwa-jiwa yang sudah sampai di sini, tidak ada kamus bencana. Apapun yang terjadi diberi judul sama: sempurna!. 0rang Buddha menyebut ini Nirvana. Sebagian sahabat Islam dan Nasrani menyebutnya surga sebelum kematian. Sebagian orang Hindu menyebutnya maha samadhi. Dalam bahasa Confucius: ‘Bila bertemu orang baik tauladanilah. Jika bertemu orang jahat periksalah pikiran Anda sendiri’.
Kembali ke cerita awal tentang bencana dan Tuhan yang sedang marah, pilihan sikap yang diambil memang cermin pertumbuhan jiwa masing-masing. Seperti disebut sebelumnya, semuanya sedang bertumbuh. Penghakiman terhadap orang lain hanya menghambat pertumbuhan kita sendiri. Menyebut diri lebih baik, menempatkan orang kurang baik, hanya kesibukan ego yang meracuni pertumbuhan jiwa kemudian.
Dan bagi siapa saja yang sudah tumbuh menjadi pencinta tingkat dewasa, lebih-lebih sudah menjadi jiwa yang tidak lagi mencari, Indonesia tidak lagi berwajah negara bencana. Indonesia adalah salon yang mempercantik jiwa. Tanpa cobaan, bukankah kehidupan hanya berputar-putar di luar dan mudah terasa hambar? Bukankah dalam cobaan, dalam godaan, dalam guncangan, semua jiwa sedang digerakkan masuk ke dalam? Bukankah hanya di dalam sini jiwa bisa dibuat indah dan cantik? Seperti seorang wanita yang segar bugar keluar dari ruang olah raga, bukankah kesediaan untuk lelah sebentar (baca: digoda bencana sebentar) yang membuatnya jadi bugar? Maafkanlah tulisan ini ditutup dengan pertanyaan.

Kematian Juga Menawan

Sebelum Mahatma Gandhi berpidato di salah satu forum internasional di London, pendampingnya berpisik pelan sopan: “Mahatma, Anda belum menulis teks pidato”. Dengan senyum khas Gandhi menjawab: “My life is my true speech”. Hidupku adalah pidatoku yang sesungguhnya. Membaca pemberitaan meletusnya gunung Merapi 26-10-2010, alam seperti sedang berpidato ke kita semua. Dan diantara demikian banyak pesan Merapi, tidak ada yang lebih menyentuh hati ketika mengetahui juru kunci Merapi Mbah Maridjan wafat dalam posisi sujud.
Bila benar bahwa kematian adalah “pertempuran” spiritual menentukan, Mbah Maridjan terang benderang memperlihatkan bahwa beliau telah mengalami kemenangan spiritual. Disebut kemenangan karena kematian adalah simbolik alam yang paling ditakuti, bila ada yang bisa sujud hormat di depan kematian, sungguh ia menjadi kemenangan yang mengagumkan.
Kematian Sealami Daun jatuh
Bagi nyaris semua orang, kematian berwajah mengerikan. Perpisahan, kengerian, kesalahan itulah wajah yang digambar manusia kebanyakan tentang kematian. Amat manusiawi tentunya. Namun, di tangan pencari spiritual yang serius, tidak ada guru kehidupan yang lebih agung dari kematian. Karena ada kematian kemudian manusia belajar ikhlas, jauh dari kesombongan dan kecongkakan. Itu sebabnya, praktisi meditasi yang mendalam setiap hari melakukan meditasi kematian. Sebelum bangun dari meditasi, menyaksikan unsur tanah, air, api, udara dari tubuh ini kembali ke tempat asalnya melayani semua mahluk. Unsur tanah dari tubuh menyatu dengan tanah kemudian menghasilkan makanan buat para mahluk. Unsur air menyatu dengan air kemudian membuat para mahluk bisa minum.
Dalam logika sederhana, hari ketika manusia keluar dari kandungan Ibu sesungguhnya bukan awal kehidupan. Beberapa bulan sebelumnya manusia sudah lahir dalam bentuk pembuahan di kandungan Ibu. Sebelum pembuahan terjadi, sebagian dari diri kita ada di Ayah, sebagian lagi ada di Ibu. Sebelum Ayah dan Ibu lahir, keduanya ada dalam diri kakek dan nenek, dan seterusnya.
Bila hari kelahiran layak dipertanyakan sebagai awal, ia sama layaknya bila bertanya: apakah kematian adalah akhir?. Serupa dengan daun jatuh, ia memang mati sebagai daun namun melanjutkan tugas berikutnya sebagai pupuk. Dan beberapa waktu kemudian akan terlahir sebagai daun kembali. Mirip dengan gumpalan awan gelap, ketika hujan turun ia memang mati sebagai awan terlahir sebagai air. Namun di suatu waktu ia akan terlahir kembali sebagai awan.
Penderitaan terjadi ketika daun yang putaran waktunya sudah jatuh memaksa tetap bertahan di pohon, awan yang sudah saatnya berubah menjadi air ngotot bertahan sebagai awan. Tatkala putaran waktunya bencana menggoda, sebagian besar manusia ngotot kaku harus bahagia. Ini yang kerap disebut sebagai ketidakjernihan sebagai akar penderitaan.
Makanya, dalam meditasi pencapain diukur melalui tiga tingkatan pikiran: concentrated mind, unified mind, non-abiding mind. Pertama, pikiran mulai terkonsentrasi rapi. Bagi yang suka menggunakan obyek, pikiran seperti dipaku di satu tempat. Bagi yang menyenangi tanpa obyek, hanya senyum-senyum lembut pada setiap pengalaman yang muncul. Tanpa penghakiman, tanpa rasa bersalah. Kedua, ia yang lama istirahat dalam konsentrasi yang rapi suatu saat akan mengalami pengalaman kebersatuan. Sederhananya, bisa melihat dirinya di mana-mana. Di pohon, binatang, mineral, manusial, dll. Sesampai di sini, praktisi menjadi berhenti total menyakiti, amat rindu menyayangi. Karena ketika menyakiti orang sesungguhnya sedang menyakiti diri sendiri, saat menyayangi mahluk lain sesungguhnya sedang menyayangi diri sendiri.
Dan setelah lama menyatu, baru sadar ternyata tidak tersisa apa-apa (non-abiding mind). Anehnya, bila keheningan sebagaimana dimengerti orang kebanyakan menyisakan kebingungan (sepi, takut), di tingkatan ini keheningan itu mengagumkan. Serupa ruang, ia sepertinya tiada namun melimpahkan kasih sayang secara tidak terbatas. Terutama karena memberikan tempat pada apa saja dan siapa saja untuk bertumbuh. Guru seperti Mbah Maridjan mengajarkan, ia yang bisa sujud di depan kematian batinnya sudah seluas ruang. Bila bisa memberikan ruang pada kematian, maka pasti bisa memberikan ruang pada yang lain. Inilah kematian yang menawan. Tanpa perlawanan, tanpa keluhan, tanpa ketakutan. Ia sealami daun jatuh, senatural awan yang berubah menjadi hujan.
Puncak Doa
Ada berbagai jenis manusia dalam berdoa. Apa pun bentuknya, semua berdoa untuk keselamatan, kesehatan, kebahagiaan. Namun, sudah menjadi sejarah doa sejak dulu, tidak semua doa terpenuhi. Kendati berdoa untuk keselamatan, sebagian manusia tidak selamat. Belajar dari sini, pencari sejati menghentikan segala bentuk doa yang dipenuhi permintaan. Pertama, ia sejenis perdagangan yang kotor dari keinginan. Kedua, cara doa seperti ini membuat subyek doa dan obyeknya terpisah. Ketiga, karena masih dua (belum menyatu, apa lagi lebur dalam keheningan), maka kemungkinan doa ini banyak kecewanya.
Untuk itu, penekun spiritual serius kemudian mendekati doa secara berbeda. Titik berangkatnya sederhana, manusia ada di dalam Tuhan, Tuhan ada di dalam manusia. Buddha menjadi yang disembah, sekaligus menjadi yang menyembah. Dari sini, doa mengingatkan kita tentang kualitas-kualitas mulya yang sudah bersemayam di dalam. Ada Tuhan, ada Buddha di dalam sehingga sangat hati-hati dalam keseharian. Jangankan berkata-kata kasar, menghina orang, berjalan di bawah jemuran saja rasanya tidak rela.
Berbekalkan ini, tubuh, kata-kata, pikiran sebagai kendaraan doa kemudian disatukan (bukannya terpencar) melalui praktek kesadaran. Kesadaran adalah sejenis cahaya terang di dalam. Tatkala cahaya di dalam berjumpa cahaya di luar sebagai tanda munculnya guru rahasia, kegelapan ketidakjernihan, keserakahan, kedengkian lenyap. Akibatnya, kegelapan ketakutan (termasuk ketakutan akan kematian) menghilang, menyisakan hanya kerinduan berbagi kasih sayang.
Dalam terang pemahaman ini, mudah dipahami bila Milarepa pernah berpesan death is not death for a yogi, it’s just a little enlightenment. Di tangan pencari tingkat tinggi seperti Milarepa dan Mbah Maridjan, kematian tidak diikuti oleh ketakutan. Kematian hanya pengalaman kecil yang mencerahkan. Inilah puncak doa. Mungkin itu sebabnya Mbah Maridjan mengungkapkan kasih sayangnya di saat kematian melalui sebuah pesan simbolik : “wafat dalam posisi bersujud”. Dengan mengucapkan maaf mendalam (deep bow) kepada seluruh sahabat yang marah serta tersinggung oleh wafatnya Mbah Maridjan, izinkan babu seperti saya mengucapkan hormat sambil merunduk: “Matur nuwun sanget Mbah, semoga semua mahluk berbahagia”.

Renungan

Memberi Kado Setiap Hari
"Gede Prama"

Banyak orang bertanya, apa sesungguhnya yang paling membuat orang kaya berbahagia? Uang untuk hidup tentu saja bukan masalah. Kesenangan yang bisa dibeli dengan uang, juga tidak masalah. Liburan ke berbagai tempat, ia sesederhana memerintahkan sekretaris.

Di tengah gelimang materi ini, ada yang mengira kehidupan orang kaya hanya berisi kebahagiaan dan kebahagiaan. Dan ternyata tidak. Dalam limpahan uang maupun utang, kebahagiaan itu hanya tamu yang datang dan pergi. Serupa matahari, paginya terbit sorenya terbenam. Melawan bahwa matahari hanya boleh terbit dan tidak boleh tenggelam, hanya akan membuat seseorang menjadi dua korban: korban canda sekaligus korban kecewa.

Sudah banyak korban dalam hal ini.Yang baru naik pangkat mengira bahwa kenaikan pangkat akan berlangsung selamanya. 0rang kaya menduga kalau kekayaan akan selama-lamanya. Dan alam bertutur sederhana: tidak ada yang kekal.

Itu sebabnya orang bijaksana mendidik dirinya untuk mengalir bersama aliran-aliran kehidupan. Bekerja, berusaha, berdoa tentu saja dilakukan. Namun berapa pun kehidupan menghadiahkan hasil, sambutlah semuanya dengan senyuman. Naik jabatan itu indah karena memberi tanda sedang dipercaya. Turun jabatan juga indah, terutama karena terbuka kesempatan untuk mendidik diri agar ikhlas. Dalam bahasa orang suci, keikhlasanlah yang membuat kehidupan istirahat dalam keabadian.

Salah satu sahabat Direktur Utama Bank pernah bercerita di bandara Bali tentang betapa bahagianya memiliki anak yang diwisuda. Bagi mereka yang sudah punya putera-puteri yang sudah dewasa, mendengar anak lulus sarjana mungkin sesuatu yang biasa. Namun bagi yang baru saja memiliki putera pertama diwisuda, itu sungguh sebuah kebahagiaan.

Berbagai macam gambar indah yang muncul di kepala. Melihat anak mengenakan baju wisuda, toga, namanya dipanggil ke depan, kemudian petinggi Universitas menyalaminya sampai tepuk tangan gemuruh banyak orang. Ringkasnya, indah, indah dan indah. Setiap sahabat yang sudah membuang penyakit iri di dalam dirinya akan ikut tersenyum merasakan kebahagiaan ini.

Namun kembali ke tanda-tanda alam di awal, semuanya tunduk pada hukum ketidakkekalan. Setiap hal yang datang akan pergi. Itu sebabnya, banyak pejalan kaki ke dalam diri mulai menyadari, hanya persahabatan dengan kehidupan yang menyejukkan. Bersahabat dengan karir yang lagi menanjak itu mudah. Namun bersahabat dengan cacian orang, hanya orang bijaksana yang bisa melakukannya. Dalam bahasa seorang guru: happiness and unhappiness come from your unbalance mind. Kebahagiaan, kesedihan datang dari batin yang belum sepenuhnya seimbang.

Itu sebabnya seorang sahabat di Bali menghabiskan sebagian waktunya untuk menyapu dan mengepel. Bukan karena tidak bisa membayar pembantu. Namun sedang mendidik diri bersahabat dengan kehidupan di bawah.

Sekali, dua kali, tiga kali ia tidak membawa dampak apa-apa. Namun seperti menetesi batu dengan air, setelah sekian lama batunya berlubang. Demikian juga dengan latihan menjadi rendah hati. Ia seyogyanya dilakukan secara tekun terus menerus. Baru bisa memberi dampak perubahan.

Serupa dengan para sahabat yang pernah duduk di kursi-kursi tinggi baik di dunia korporasi maupun birokrasi, kekuasaan kerap memaksa kita mengenakan topeng-topeng keangkuhan, kesombongan, kemarahan. Baik karena dalih wibawa maupun karena alasan efektifitas kekuasaan.

Namun karena dilakukan bertahun-tahun, topeng-topeng itu kemudian menyatu dengan diri kita sendiri. Ini serupa dengan memelihara macan dalam kamar, lama-lama kita dimakan oleh macan kesombongan, sekaligus dibuat menderita. Di titik inilah manusia memerlukan kerendahah hati untuk kembali ke bawah.

Menyapu, mengepel, membersihkan taman, membantu isteri merapikan piring-piring kotor, membantu anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah, itulah rangkaian hal sepele namun menyejukkan. Tidak saja kita bahagia, isteri juga bahagia, anak-anak bertumbuh, tetangga tidak pernah mendengar umpatan dari rumah kita. Dan dalam setiap lingkungan yang ditandai oleh sedikit kemarahan dan perselisihan, alam akan berbicara dengan bahasa-bahasa kosmik berupa datangnya kupu-kupu, bernyanyinya kodok sampai dengan mekarnya bunga di mana-mana.

Mungkin itu sebabnya Lama Zopa Rinpoche menulis dalam How to be happy: The sun of real happiness shines in your life only when you start to cherish others. Cahaya kebahagiaan yang sesungguhnya mulai menyala ketika seseorang menemukan kebahagiaan dalam membahagiakan orang lain. 0rang-orang yang tekun di jalan ini akan merasakan kesejukan dan keteduhan sesungguhnya dalam setiap pelayanan yang diberikan pada orang lain.

Makanya di halaman lain buku Lama Zopa Rinpoche, ia berpesan: If you want to be loved, love others first. Siapa saja yang mau dicintai, belajarlah mencintai orang lain terlebih dahulu. Sejuk, teduh, lembut, dan indah itulah buah dari kehidupan jenis ini.

Sebagaimana terjadi di setiap putaran kehidupan, tidak semua orang tertarik belajar keteduhan dan kesejukan. Seperti sungai, selalu ada air yang lembut sekaligus batu yang keras. Dan keduanya hadir bersama-sama melukis keindahan.

Bagi para sahabat yang belum sampai di sini, lebih-lebih masih didikte habis oleh topeng-topeng kekuasaan, akan mudah menduga sahabat yang suka menyapu dan mengepel sebagai ketua dewan pembina ISDI (Ikatan Suami Diinjak-injak Istri). Dan ini pun layak dihormati. Namun ketika kita tidak marah, tidak menyakiti, sebaliknya malah menyayangi dan melayani, sesungguhnya sedang memberi kado setiap hari pada orang-orang yang kita cintai.

Sumber:http://gedeprama.blogdetik.com/2010/11/24/renungan-minggu-ini-241110/?991102866

Jumat, 19 November 2010

APA BEDANYA CALO TKI, PJTKI DAN PERDAGANGAN MANUSIA.

Tanpa bermaksud mengolok atau mencela, penulis merasa sangat prihatin dengan kejadian yang menimpa Saudara TKI.

Penulis bahkan melihat mulai dari level yang paling bawah (para calo) yang mencari para calon TKI sampai dengan instansi yang menangani(regulator) kelihatannya tidak ada bedanya.

Di level bawah para calo membantu calon TKI mulai dari memalsukan dokumen, sampai kepada iming-iming air surga menjadi TKI, tanpa melihat calon TKI tersebut memenuhi syarat atau tidak yang penting mereka akan mendapatkan sejumlah komisi atas setiap TKI yang mereka dapatkan, ditambah lagi uang-uang capek membantu calon TKI yang sebenarnya tidak memenuhi syarat agar bisa tetap berangkat.

continue...

Selasa, 16 November 2010

Ayat-ayat Alam

Betapapun isi kandungan ayat kitab suci harus diterima secara utuh, tanpa harus memilih berdasarkan suka dan tidak suka atau menguntungkan atau tidak.

Demikian juga dengan ayat-ayat alam berupa : kemudahan-kesulitan, hitam-putih, untung-rugi, bencana-anugerah, dipuji-dicela dan sebagainya.

Kearifan akan sudut pandang terhadap setiap yang terjadi menjadi titik awal bagaimana akan bisa menerima semua itu secara utuh.

ORA USAH GUMUNAN, KAGETAN

Kamis, 11 November 2010

"ORA DENGER ISIN" - TIDAK TAHU MALU

Itu kata-kata yang saat penulis kecil kenal manakala ada orang yang tidak sepantasnya atau melakukan kesalahan tetapi selalu menyangkal, tidak terima walaupun bukti-buktinya sudah sangat nyata, dan tetap melakukan perbuatannya, bukan menginsyafin


Kita menyadari dalam tatanan jawa ada kasta / tingkatan berdasarkan level dalam ekomoni maupun dalam jabatan.

Seiring perjalanan waktu dan berkembangnya ajaran persamaan hak (hak asasi) maka seolah ajaran jawa yang mengenal kasta sedikit banyak telah ditentang oleh hampir semua generasi modern saat ini.

Wong ora nduwe ora isin ngango barang mewah walaupun mencuri....
Wong Rakyat jelata... ora isin... nganggo penganggon bangsawan....

Kasta dalam masyarakat jangan diartikan secara negatif... tapi lebih kepada introspeksi tanpa embel-embel politis apalagi.... kegengsian..

Kamis, 04 November 2010

MERAPI ORA GELEM DI "EMONG" dan DI "OMONG" (ORA GELEM DIRASANI)


Nuwun sewu,

Barangkali, Merapi sedang bandol (bandel) ora gelem dimong, monggo kang kawogan supaya goleki sratine, kareben ora kedlarung-dlarung.

Sing momong yo wis diamuk, wis ora ono sing digugu, mulane padha semingkiro dhisit, ojo dicedaki, ojo diledek, ojo dilawan, pada sumingkiro ora usah diitung-itung kekuatane.... wis sumingkiro.

Senin, 11 Oktober 2010

AJARAN LUHUR

PIWULANG LUHUR
1. Yen gelem nalusuri, sejatine ora sethithik piwulang lan pitutur becik kang malah kita tampa saka wong-wong kang gawene nacad marga ora seneng marang kita, katimbang saka kanca raket kang tansah ngalembana. Awit elinga, panacad iku bisa nggugah kita nglempengake laku, dene pangalembana kepara njalari kelalen.

Kalau mau menelusuri, sebetulnya tidak sedikit pelajaran dan petuah bijak yang kita dapatkan dari orang-orang yang pekerjaannya nyacad (menghina) sebab tidak suka dengan kita, dari pada teman dekat yang selalu memuja/menyanjung. Maka ingatlah penghinaan itu bisa membangkitkan kita untuk meluruskan perjalanan hidup, sedangkan dipuja/disanjung dapat mengakibatkan kita terlena.

2. Samangsane kowe diclathu wong kanthi sengak, aja kok bales sak nalika kanthi tembung kang uga sengak. Prayoga tanggapana mawa pakarti kang alus lan sareh. Jer ya klawan laku kang kaya mangkono iku kowe bisa ngendhalekake watak kang panasbaran, ngasorake sifat kang lagi kasinungan iblis.

Sewaktu kamu dimarahi orang dengan sengit (jelek), jangan dibalas seketika dengan ucapan jelek. Lebih baik tanggapi dengan perbuatan yang baik dan sabar. Sebab dengan perbuatan yang seperti itu kamu bisa mengendalikan watak yang emosional, mengalahkan sifat iblis dalam diri kita.

3. Ing endi dununge pemarem lan katentreman? Saking angele mapanake rasa, nganti meh ora ana wong kang bisa rumangsa marem lan tentrem uripe. Mula kita kudu tlaten ngalah budi. Dhahana rasa meri lan drengki, amrih gorehing pikir bisa tansah sumingkir.

Dimana tempatnya rasa puas dan ketentraman? Sangat sulit menempatkan rasa, sampai tidak ada orang yang bisa merasakan puas dan tentram dalam hidupnya. Maka dari itu kita harus selalu bersabar. Jangan pernah ada rasa iri dan dengki, supaya pikiran jelek bisa selalu tersingkirkan.

4. Menawa kowe durung mangerteni marang bab kok anggep ora becik aja kesusu ngatonake rasa sengitmu, gedhene nganti maoni lan nglairake panacad. Awit kawruhana yen pikiran manungsa iku tansah mobah mosik lan molak-malik. Apa kang kok kira ala lan kok gethingi iku ing tembe buri bisa malih dadi kok senengi, kepara malah bisa dadi gantungane uripmu.

Seumpama kamu belum mengerti dengan permasalahan dianggap tidak baik , jangan dahulu memperlihatkan rasa bencimu, besarnya sampai membalas ucapannya dan mengeluarkan kata-kata menghina. Pertama ketahuilah bahwa pikiran manusia selalu berfikir dan berubah-ubah. Apa yang kamu kira jelek dan kamu benci itu suatu saat bisa berubah jadi kamu senangi, dan bisa berbalik jadi tempat untuk menggantungkan hidupmu.

5. Karepe wong nyatur alane liyan iku beteke mung arep nuduhake becike awake dhewe. Yen sing dijak nyatur wong kemplu, pamrih sing kaya mangkono mesthi katekane. Nanging tumraping wong mursid wong kang ngumbang rereged ing awake sarana migunakake banyu peceren malah saya nuduhake blentang-blentonge pambegan.

Maksudnya membicarakan kejelekan orang tetapi sebenarnya hanya untuk memperlihatkan kebaikan dirinya sendiri. Yang diajak berbicara orang bodoh, keinginan yang seperti itu pasti terlaksana. Tetapi untuk seorang mursid (guru) orang yang membersihkan diri dengan sarana mengunakan air yang kotor malah semakin menunjukkan aibnya.

6. Aja sok ngendel-endelake samubarang kaluwihanmu, apa maneh mamerake kasuguhan lan kapinteranmu. Yen anggonmu ngongasake dhiri mau mung winates ing lathi tanpa bukti, dhonge enggon awakmu dadi ora aji. Luwih prayoga turuten pralambange “pari dadi” kang saya isi lan mentes malah sangsaya ndhungkluk. Pari kang ndhangak nudhuhake nek kothong blong tanpa isi.

Jangan pernah menunjuk-nunjukkan semua kelebihanmu, apalagi menunjukkan ketekunan dan kepandaiaanmu. Kalau kamu dalam menunjukkan kepandaian diri hanya sebatas di mulut tanpa bukti, suatu saat dirimu jadi tidak ada harganya. Lebih baik ikuti simbolnya “padi” yang semakin isi dan berisi semakin merunduk. Padi yang menengadah menunjukkan kalau kosong momplong tanpa isi.

7. Kahanan ndonya iki ora langgeng, tansah mobah mosik. Yen sira nemahi ketunggon bandha lan kasinungan pangkat, aja banjur rumangsa “Sapa Sira Sapa Ingsun” (SSSI) kang tansah ngendelake panguwasane tumindak deksura marang sapadha-padha. Elinga yen bandha iku gampang sirna. Pangkat bisa oncat ing saben wayah.

Kedaaan dunia ini tidak pernah tetap, selalu berubah-ubah. Kalau kita lagi ditungguhi kekayaan dan pangkat derajat, jangan pernah merasa “Siapa Kamu Siapa Saya” yang selalu menunjukkan kekuasaannya bertindak semaunya pada sesamanya. Ingatlah kalau harta itu mudah habis. Kedudukan (pangkat) bisa lepas sewaktu-waktu.

8. Saiba becike samangsa wong kang lagi kasinungan begja lan kabungahan iku tansah eling, gedhene asung syukur marang kang Peparing. Awit elinga yen tumindak kaya mangkono mau kajaba bisa ngilangi watak jubriya uga mletikake rasa rumangsa yen wong dilahirake ing donya iku sejatine mung dadi lelantaran melu urun-urun, tetulung marang sapadha-padha ning titah, mbengkas kasangsaran, munggahe nggayuh hayuning jagad.

Betapa indahnya sewaktu orang yang lagi mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan haruslah selalu ingat, besarnya selalu bersyukur kepada yang selalu memberi. Maka ingatlah kalau prilaku seperti itu selain bisa mengingatkan watak curiga juga melatih rasa menyadari kalau orang dilahirkan didunia ini sebenarnya hanya jadi perantara ikut berbagi, untuk mencapai kelestarian bumi.

9. “Rumangsa sarwa duwe” lan “Sarwa duwe rumangsa” iku tinulis genah mung diwolak-walik. Nanging surasane jebul kaya bumi klawan langit. Sing kapisan nuduhake watak ngedir-edirake, wengis satindak lakune, asosial, yen nggayuh pepinginan ora maelu laku dudu samubarang pakarti nistha ditrajang wani. Dene sing kapindho, pakartine tansah kebak welas asih, wicaksana ing saben laku, rumangsa dosa samangsa gawe kapitunane liyan.

“Merasa serba ada” dan “Serba ada perasaan” itu jelas tertulis hanya dibalak-balik. Artinya sebernya seperti bumi dan langit. Yang pertama menunjukkan watak mengagung-agungkan diri, bengis setiap langkahnya, kikir, dan kalau ingin meraih keinginan tidak memperhatikan prilaku jelek semuanya dilanggar. Dan yang kedua, perbuatannya selalu penuh dengan welas asih, bijaksana di setiap langkah, merasa berdosa sewaktu berbuat merugikan orang.

10. Memitran, paseduluran nganti tumekaning jejodhowan iku yen siji lan sijine bisa emong kinemong, istingarah bisa sempulur becik. Yen anaa padudon sepisan pindho iku wis aran lumrah, bisa nambahi raketing sesambungan. Nanging suwalike yen padha angel ngenggoni sifat emong kinemong mau genah bakal langka langgenge, malah bedaning panemu sithik wae bisa marakake dahuru.

Berteman, persaudaraan sampai datangnya perjodohan itu kalau satu dan satunya bisa saling asuh-mengasuh, istiqaroh bisa semakin baik. Kalaupun ada perselisihan sekali dua kali itu sudah biasa, bisa menambah eratnya pertalian persaudaraan. Tetapi sebaliknya kalau sama-sama susah menempatkan sifat saling asuh-mengasuh itu jelas bakal langka kelanjutannya, berbeda pendapat sedikit saja bisa membuat perselisihan.

11. Tepa slira lan mawas dhiri iku dadi oboring laku nggayuh rahayu, minangka jimat paripih tumraping ngaurip, munggahe bisa nyedhakake rasa asih lan ngedohake watak drengki lan daksiya marang sapepadhane. Sregep mawas dhiri ateges bakal weruh marang kekurangan lan cacade dhewe, saengga wusanane thukul greged ndandani murih apike.

Tenggang rasa dan intropeksi itu jadi penerang jalan dalam mengapai keselamatan, sebagai pusaka (benteng diri) hidup kita, dapat mendekatkan pada rasa kasih sayang dan menjauhkan watak iri dan sewenang-wenang pada sesama. Selalu intropeksi artinya tahu akan kekurangan dan cela diri kita, sehingga akhirnya tumbuh keinginan memperbaiki bagaimana baiknya.

12. Wong kang ora nate nandhang prihatin ora bakal kasinungan rasa pangrasa kang njalari tekane rasa trenyuh lan welas lahir batine. Wong kang wis nate ketaman ing prihatin, luwih bisa ngrasakake penandange wong liya. Mula adhakane luwih gelem aweh pitulungan marang kang kasusahan.

Orang yang tidak pernah merasakan prihatin (kesusahan) tidak akan ketempatan rasa sejati yang menimbulkan datangnya rasa iba dan kasih sayang lahir batin. Orang yang sudah pernah merasakan prihatin (kesusahan), lebih dapat merasakan penderitaan orang lain. Maka biasanya lebih mengerti dan suka memberi pertolongan yang lagi mendapat kesusahan.

13. Tembung kang kurang prayoga kang kalair mung marga kadereng dening dayaning hawa nafsu iku pancen sakala iku bisa aweh rasa pemarem. Nanging sawise iku bakal aweh rasa getun lan panutuh marang dhiri pribadhi, kang satemah tansah bisa ngrubeda marang katentremaning pikir lan ati. Guneman sethithik nanging memikir akeh iku kang tumrape manungsa bisa aweh katentreman lan rasa marem kang gedhe dhewe.

Ucapan yang kurang baik yang terucap hanya suatu sebab desakkan kekuatan hawa nafsu itu, memang seketika bisa membuat rasa puas. Tetapi setelah itu dapat memberi rasa menyesal dan menyalahkan pada diri sendiri, yang selalu menganggu ketentraman pikiran dan hati. Berbicara sedikit tetapi berfikir luas, maka sebagai manusia telah bisa memberi ketentraman dan rasa sangat puas yang besar.

14. Kita iki kejaba ndarbeni badan wadhag lan pancadriya, siji maneh kita uga darbe osiking ati. Darbe kita iki ora kasat mata, ora kena ginrayang, nanging tansah ajeg elik-elik marang bebener yen lagi nandhang pletiking pakarti lan cipta ala, munggahe katuwuhan krenteg tumindak laku ngiwa. Mula poma dipoma, tansah bisoa ngrungokake osiking atimu, awit iku kang ngajak sak paripolahmu tumuju menyang karahayuning urip.

Kita ini selain mempunyai badan jasmani dan pancaindriya, satu lagi kita juga mempunyai hatinurani. Kepunyaan kita ini tidak dapat dilihat, tidak bisa diraba, tetapi selalu mengingatkan kepada kebenaran kalau sedang mengalami kealpaan dan angan-angan yang kurang baik, jikalau diteruskan mempunyai keinginan melakukan perbuatan kurang baik. Maka berhati-hatilah, harus bisa mendengarkan suara hatimu, sebab itu yang mengajak setiap prilakumu menuju jalan keselamatan hidup.

15. Kawruh lan ilmu pengetahuan iku mung bisa digayuh lan dikuwasani kanthi laku kang laras karo apa kang diwulangake. Lire ajaran teorine kudu bisa dicakake lan ditrapake kanggo karaharjaning bebrayan. Wondene lakune mono kudu sinartan tekad kang gilig lan kekarepan kang tulus lan mantep kinanthenan kateguhaning iman, kanggo ngadhepi sakehing panggodha sarta nyingkiri sikep laku kang sarwa dudu.

Pengatahuan dan ilmu pengetahuan itu hanya bisa diraih dan dikuasai dengan laku yang selaras dengan apa yang diajarkan. Intinya adalah pelajaran teori harus bisa dilaksanakan dan dipratekkan untuk kemuliaan kehidupan. Oleh sebab itu caranya harus dibarengi tekad yang bulat dan keinginan yang tulus dan mantap serta dengan berbekal keteguhan iman, untuk menghadapi semua godaan serta menyingkirkan sikap perbuatan yang tidak pada tempatnya.

16. Siji-sijine dalan amrih kaleksanan ing gegayuhan, yaiku makarti kang sinartan kapercayaan lan keyakinan menawa apa kang sinedya mesthi dadi. Yen mung kandheg ing gagasan lan kukuhing karep wae, tanpa tumandang lan makarya minangka sarana panebuse, wohe ya ora beda kaya dene wong ngimpi. Cilakane maneh yen selagine nganggit-anggit mau wis kaselak ngrasakake kanikmatane ing pengangen-angen, wusanane dadi lumuh ing gawe lan wedi ing kewuh.

Satu-satunya jalan supaya tercapainya sebuah keinginan, yaitu bekerja yang dibekali dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa apa yang diharapkan pasti jadi. Kalau hanya berhenti pada gagasan/ide dan kuatnya keinginan saja, tanpa berbuat dan bekerja sebagai sarana pengganti, hasilnya juga tidak berbeda seperti orang yang bermimpi. Celakanya lagi kalau hanya mengarang-arang, akhirnya jadi malas bekerja dan takut merepotkan.

17. Ora ana penggawe luwih dening mulya kejaba dedana sing uga ateges mbiyantu nyampeti kekuranganing kabutuhane liyan. Dedana marang sapepadha iku ateges uga mitulungi awake dhewe nglelantih marang rasa lila legawa kang uga ateges angabekti marang Pangeran Kang Maha Welas Asih. Pancen pangabekti mono wis aran pasrah, dadi kita ora ngajab marang baline sumbangsih kita. Kabeh iku sing kagungan mung Pangeran Kang Maha Kuwaos, kita ora wenang ngajab wohing pangabekti kanggo kita dhewe. Nindakake kabecikan kanthi dedana kita pancen wajib nanging ngundhuh wohing kautaman kita ora wenang.

Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia selain beramal yang juga bisa berarti membantu mencukupi kekurangan kebutuhan orang lain. Bersedekah pada sesama itu berarti juga membantu diri sendiri melatih pada rasa tulus dan ikhlas yang juga berarti berbakti pada Tuhan Yang Maha Penyayang. Memang berbakti sudah berarti pasrah, jadi jangan pernah berharap kembali apa yang telah kita sumbangkan. Semua itu milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita tidak kuasa berharap buahnya persembahan untuk diri kita pribadi. Berbuat kebaikan dengan beramal hukumnya wajib tetapi memetik buahnya kebaikan kita tidak berhak.

18. Nggayuh kaluhuran mono ateges ngupaya tataraning urip kang luwih dhuwur. Ya dhuwur ing lahir ya uga ing batin. Lire sing murakabi kanggo dhiri pribadi, sumarambah tumrap bebrayan agung. Sapa kang mung mligi nggayuh kaluhuraning lahir, ateges mung mburu drajat, semat lan pangkat, durung aran jejeg uripe. Suprandene sapa kang mung ngemungake kaluhuran batin, ateges ora nuhoni jejering manungsa ing alam donya iku kang kudu tumandang gawe kanggo donyane.

Mengapai kemulian berarti berusaha mencapai tahapan hidup yang lebih tinggi. Ya tinggi di lahir dan juga di batin. Intinya yang bermanfaat untuk diri pribadi, dan juga untuk semua kehidupan. Siapa yang hanya mengapai kemuliaan lahiriah, berarti hanya memburu derajat/pangkat, belum bisa dikatakan lurus hidupnya. Demikian halnya siapa yang hanya mengapai keutamaan batin, berarti tidak sesungguhnya tampil sebagai manusia di alam dunia yang harus bekerja untuk kelestarian alam.

19. Sarupaning wewadi sing ala lan sing becik yen isih kok gembol lan mbok keket kanthi remit ing ati salawase isih tetep dadi baturmu. Nanging yen wis mbok ketokake sathithik wae bakal dadi bendaramu kang ngidak-idak sirahmu. Selagine mung nyimpen wewadine dhewe wae wis abot, apa maneh yen nganti pinracaya nggegem wewadine liyan. Mula saka iku ojo sok dhemen lan kepengin meruhi wewadine liyan. Sing wis cetha mung bakal nambahi sanggan sing sejatine dudu wajibmu melu open-open.

Segala macam rahasia yang jelek dan baik kalau masih kamu simpan dan disembunyikan dengan rahasia di dalam hati selamanya masih tetap menjadi temanmu. Akan tetapi kalau sudah kamu perlihatkan sedikit saja akan jadi tuanmu yang menginjak-injak kepalamu. Seandainya hanya menyimpan rahasia kita sendiri itu sudah berat, apa lagi kalau dipercaya menyimpan rahasianya orang lain. Yang sudah jelas akan menambahi beban yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban kita untuk ikut memelihara.

20. Sok sopoa bakal nduweni rasa kurmat marang wong kang tansah katon bingar lan padhang polatane, nadyan ta wong mau nembe wae nandhang susah utawa nemoni pepalang ing panguripane. Kosokbaline, wong kang tansah katon suntrut kerep ngrundel lan grenengan, merga ora ketekan sedyane iku, cetha bakal kaoncatan kekuwatan ing batin lan tenagane, tangeh lamun entuka pitulungan kepara malah dadi sesirikaning mitra karuhe.

Siapapun akan mempunyai rasa hormat pada orang yang selalu kelihatan bersuka cita dan terang perangainya, meskipun orang itu baru saja mengalami kesusahan atau mendapatkan cobaan hidup. Sebaliknya, orang yang selalu kelihatan susah sering ngomel dan mengumpat, sebab tidak tercapai keinginannya, jelas akan kehilangan kekuatan batin dan tenaganya, jangan berharap mendapatkan pertolongan malah akan di jauhi teman dan kerabat.

Copy Paste dari @@K.

Sabtu, 09 Oktober 2010

KALO PENJARA "BERUBAH IMAGE"

..... ? ...... ? 2010 ?

Penjara Menjadi Kontrakan Kelas SuperVVIP dengan tarif termahal.
Bahkan dilengkapi dengan Tenaga penjaga (sang ...)

Penghuninya gak main-main (milyarder)

Penjara seakan bukan tempat "AIB" melainkan kebanggaan.

Yang dipenjara lebih bisa mengatur daripada yang memenjarakan.

Zaman.. zaman

Kamis, 19 Agustus 2010

Bahayanya "Wadi" yang dipublikasikan

Seiring dengan perkembangan jaman, teknologi, bisnis dan sebangsanya maka banyak urusan yang sifatnya "WADI" (jawa) atawa "PAMALI" (sunda) dipublikasikan secara blak-blakan dengan alasan era keterbukaan dll.

Padahal ibarat sebuah jurus maka dengan dipublikasikannya maka dia tidak akan menjadi andalan bahkan sebaliknya akan menimbulkan keresahan.

Untuk hal-hal yang sifatnya "WADI" tidak semua orang bisa / mampu dan sudah mumpuni untuk mengetahui atau menjalankannya, sehingga manakala sudah diumbar dan dipublikasikan maka jangan heran jika ada yang NYLENEH-NYLENEH terjadi di kehidupan berbangsa dan bermasyarakat secara luas.

Yang bisa salah tidak hanya preman dan wong cilik saja, penguasa, kyai, pejabat dan presiden sekalipun bisa kecletut( keseleo ).

Orang Jawa punya warisan yang terkenal dengan istilah UMPAN PAPAN.

Selasa, 17 Agustus 2010

AGUSTUSAN ATAU 17-AN



Kira-kira itulah kata yang bisa mewakili peringatan Hari Kemerdekaan Negera Indonesia di benak Penulis Kecil saat itu.

Bentuk kegiatanpun tidak jauh berbeda dulu dan sekarang, kecuali rasa dan pemahaman penulis sendiri terhadap Peringatan itu yang berbeda seiring perjalanan umur dan waktu tentunya.

.............M e r d e k a Indonesiaku .................

Sabtu, 14 Agustus 2010

INFO MUDIK

http://www.rttmc-hubdat.web.id

Selasa, 13 Juli 2010

BAB REZEKI

“Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkan (bagi siapa yang Dia kehendaki)…”. (QS. Ar-Ra’d [13]: 26).
Rezeki merupakan salah satu rahasia Allah. Ia tidak bisa dikalkulasi dengan nalar manusia. Se-ringkali ia bergerak diluar jangkauan nalar. Itulah yang disebut dengan rezeki tidak disangka-sangka. Al-Qur’an mengatakan, “Wayarzuqhu min haitsu lâ yahtasib.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3).
Allah telah menjamin rezeki setiap makhluk-Nya. Setiap manusia yang terlahir ke dunia sudah dilengkapi dengan rezekinya masing-masing. Oleh karena itu, selayaknyalah kita tidak perlu cemas mengenai rezeki. Persoalan rezeki sudah diatur oleh Allah Swt.Hal penting yang perlu dilakukan adalah sempurnakan ikhtiar, perkuat dengan doa, dan tawakal secara total kepada Allah. Biarlah Allah yang Maha Mengatur rezeki yang menentukan. Insya Allah, jika ikhtiar dan doa kita optimal serta tawakal kita total, kita akan diberikan kelapangan rezeki oleh Allah. Allah akan mengaruniakan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.


Hakikat Rezeki
Oleh : Abdullah Gymnastiar


BERAPA banyak binatang melata yang tidak sanggup membawa rezekinya (makanan kebutuhannya), Allahlah yang menjamin rezekinya, juga terhadapmu.(Q.S. Al Ankabuut 29: 60).

Pada Bulan Ramadhan, pintu-pintu keberkahan Allah dibuka lebar-lebar, karenanya ada yang menyebut Ramadhan sebagai syahrul mubarak, bulan yang penuh keberkahan. Rizki dimudahkan, urusan-urusan dilancarkan, kegembiraan-kegembiraan senantiasa diiringkan. Itu semua benar-benar kita rasakan.

Dalam soal rezeki, pesona Ramadhan sangat berbeda. Rata-rata, seiring kewajiban ibadah puasa, standar belanja masyarakat biasanya meningkat. Di bulan puasa yang harusnya berdampak penghematan, kebutuhan belanja justru meningkat. Tapi semua itu bisa terpenuhi dengan baik.

Hampir tidak kita temui orang yang ikhlas menjalankan ibadah puasa di bulan ini sepanjang waktu berurai air mata karena tidak kebagian rezeki untuk sahur maupun berbuka. Tidak, semua orang bisa menikmati semua itu dengan memadai.

Saudaraku, berbicara soal rezeki, tampaknya sangat penting bagi kita untuk mencoba menelaah hakikat rezeki. Sederhananya begini, ada seorang majikan menyuruh hamba sahayanya untuk menimba, tidak mungkin majikan ini lupa memberi makan kepada hamba sahayanya. Karena kalau lupa maka hamba sahayanya ini tidak akan bisa bekerja.

Semakin bagus kerjanya, akan dicukupi pakaiannya atau kebutuhan lainnya. Lalu, bagaimana mungkin Allah yang memerintahkan kita ibadah dan kalau kita ibadah tidak dicukupi. Contoh, kita diperintahkan untuk shalat dan shalat itu harus menutupi aurat. Pasti kita akan dicukupi rezeki menutup aurat karena yang menyuruh menutup aurat adalah Allah.

Allah memerintahkan kita untuk bersedekah, lalu bagaimana mungkin kita bisa sedekah kalau kita tidak diberi rezeki sementara itu yang memberi rezeki adalah Allah. Kita pasti diberi makan, karena bagaimana mungkin kita bisa menolong orang, bagaimana kita bisa ibadah, kalau kita tidak diberi makan. Jadi, andai saja kita tahu kewajiban kita dan kita tunaikan dengan baik maka insya Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakannya.

Maka saudaraku, kewajiban kita yang pertama adalah husnudzan (berbaik sangka) bahwa Allah adalah Maha Penjamin rezeki. Karena Allah berfirman dalam hadits qudsi: Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku pada-Ku. Yang kedua. Ikhtiar dijalan yang Allah sukai itu baik.

Kalau Allah menyuruh kita jujur, jujur saja, mengapa enggan? Mungkin kita pernah dengar ungkapan ini, dari rezeki tidak jujur saja susah, apalagi kalau jujur. Maka tak mungkin Allah yang menyuruh kita jujur, terus Allah tidak memberinya. Kita disuruh membayar zakat, bayarkan saja. Toh, uangnya juga milik Allah. Kalau Dia mau mangambilnya kembali kita tidak bisa menolak. Kita tidak mau bayar zakat, misalnya, tiba-tiba mobilnya tabrakan atau rumahnya kebakaran atau usahanya bangkrut; kita tidak bisa berbuat apa-apa. Atau kita diberi penyakit oleh Allah dan harus operasi.

Tak mungkin kita tidak mau berobat karena mau tidak mau keluar uang juga. Pasti, uang itu akan keluar. Maka daripada dipaksa oleh Allah agar uang keluar, lebih baik tunaikan segera zakatnya.

Sudah saatnya berangkat haji, bayarkan saja ongkos haji. Toh, uangnya juga milik Allah, kenapa mesti pusing-pusing cari alasan. Allahlah yang Maha mengatur lalu lintas rezeki setiap hamba-Nya. Maka sebetulnya, hidup ini akan enak kalau kita sudah tahu rumusnya. Sayangnya kita lebih sibuk memikirkan apa yang dijanjikan Allah daripada apa yang menjadi kewajiban kita.

Nah, begitulah kurang lebih hakikat rezeki kita. Yang utama tunaikan kewajiban kita lebih dahulu maka rezeki akan terpenuhi. Mudahan-mudahan uraian di bulan suci ini mendapat barokah dari-Nya. Wallahu alam. (Sumber : http://www.indomedia.com/sripo)

Cara Menjemput Rezeki

Banyak jalan yang bisa ditempuh untuk menjemput rezeki. Berikut sepuluh diantaranya..

1. Taqwa
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya,” (QS ath-Thalaq: 2-3).

2. Tawakal
Nabi s.a.w. bersabda: “Seandainya kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, nescaya kamu diberi rezeki seperti burung diberi rezeki, ia pagi hari lapar dan petang hari telah kenyang.” (Riwayat Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al-Hakim dari Umar bin al-Khattab r.a.)

3. Shalat
Firman Allah dalam hadis qudsi: “Wahai anak Adam, jangan sekali-kali engkau malas mengerjakan empat rakaat pada waktu permulaan siang (solat Dhuha), nanti pasti akan Aku cukupkan keperluanmu pada petang harinya." (Riwayat al-Hakim dan Thabrani)

4. Istighfar
"Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai" (QS Nuh: 10-12).

“Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan, dan Allah akan memberinya rezeki (yang halal) dari arah yang tiada disangka-sangka,” (HR Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim).

5. Silaturahmi
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang senang untuk dilapangkan rezekinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), hendaknyalah ia menyambung (tali) silaturahim.”

6. Sedekah
Sabda Nabi s.a.w.: “Tidaklah kamu diberi pertolongan dan diberi rezeki melainkan kerana orang-orang lemah di kalangan kamu.” (Riwayat Bukhari)

7. Berbuat Kebaikan
"Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS Alqashash:84)

Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah tdk akan zalim pd hambanya yg berbuat kebaikan.Dia akan dibalas dengan diberi rezeki di dunia dan akan dibalas dengan pahala di akhirat.(HR. Ahmad)

8. Berdagang
Dan Nabi SAW bersabda: “Berniagalah, karena sembilan dari sepuluh pintu rezeki itu ada dalam perniagaan” (Riwayat Ahmad)

9. Bangun Pagi
Fatimah (putri Rasulullah) berkata bahwa saat Rasulullah ( S.A.W.) melihatnya masih terlentang di tempat tidurnya di pagi hari, beliau (S.A.W.) mengatakan kepadanya, "Putriku, bangunlah dan saksikanlah kemurahan-hati Tuhanmu, dan janganlah menjadi seperti kebanyakan orang. Allah membagikan rezeki setiap harinya pada waktu antara mulainya subuh sampai terbitnya matahari. ( H.R. Al-Baihaqi)

Aisyah juga meceritakan sebuah hadits yang hampir sama maknanya, yang mana Rasulullah (S.A.W.) bersabda, "Bangunlah pagi-pagi untuk mencari rezekimu dan melakukan tugasmu, karena hal itu membawa berkah dan kesuksesan. (H.R. At-Tabarani)

10. Bersyukur
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim:7)


Kumpulan berbagai sumber

Sabtu, 10 Juli 2010

DEMOKRASI

Ibarat buah simalakama... menerima istilah ini berarti boleh dikatakan apapun yang berbeda akan diterjemahkan demi DEMOKRASI.

Sampai ada pendapat/ide untuk melegalkan perjudian/judi dengan sekian banyak argumentasi baik yang bersifat ini itu.. dan lain-lain.

Kiranya mungkin itu konsekuensi pilihan BERDEMOKRASI walaupun secara jelas dan gamblang dari sisi religi tak satupun Agama yang ada di negeri ini memperbolehkan adanya judi.

Mungkinkah atas nama demokrasi ide dan gagasan tersebut diajukan dan mungkin saja diterima karena bak layaknya UU Pornografi/Pornoaksi saja yang jelas-jelas akan melindungi umat ini dari hal-hal di atas ada juga yang menentang bahkan kecenderungannya justru memenangkannya untuk menolak bahkan sebagian kaum HAWA yang notabene menurut penulis akan lebih dijunjung martabatnya kok malah menolak... piye to.

Mudah-mudahan ada yang mempunyai kajian-kajian yang bisa merontokkan ide/gagasan dilegalkannya judi di negeri ini terutama yang punya power dan perlengkapannya tentunya(duit.. jabatan...de el el).

Oh Negeri, Bangsa dan Tanah Airku Indonesia.
Wong cilik cuma bisa menonton,,, geleng kepala.... dan turut prihatin.

Mudah-mudahan Negeri Bangsa dan Tanah Airku akan selalu dilindungi-Nya.
Ku serahkan harapan untuk Negeri, Bangsa dan Tanah airku pada MU Sang Pemilik Kehidupan.... Engkau adalah sebaik-baik pengatur, Seadil-adil Pemberi, Sang Maha Perkasa atas segala sesuatu.

Peace Indonesiaku


Amien.

Jumat, 02 Juli 2010

Lattah Yang Tidak Alami

Kurang menguntungkan sekiranya latah yang tidak alami, seperti latah berbisnis dan latah mengomentari issue.

Dalam dunia usaha latah untuk meniru suatu bisnis yang kelihatannya menjanjikan, padahal dari sisi-sisi yang lain sama sekali tidak pernah diperhitungkan, sehingga pelaku usaha hanya melihat suatu bisnis dari proyeksi keuntungan semata, padahal pelaku usaha tersebut tidak / belum menguasai keilmuannya. Ini mungkin juga merupakan hasil dari metode pendidikan / keberhasilan sang motivator untuk membuat orang ingin menjadi the number one, tanpa melihat kapabilitasnya.

Demikian juga sang komentator mengenai suatu issue, bahkan issue yang seharusnya tidak perlu dikomentari saja kadang dilakukan penilaian walaupun sebenarnya bukan merupakan kapasitas yang bersangkutan, bahkan sebenarnya akan merendahkannya, karena kepandaian sang pewawancara diapun berkomentar mengenai issue yang sebenarnya tidak dikuasainya atau sebenarnya tidak perlu dikomentari.

Mohon maaf kepada yang mempunyai sifat latah, selama alami itu berarti karunia Sang Khalik, asal jangan dibuat-buat.

Dunia telekomunikasi dan informasi serta pelakunya memegang peranan penting terhadap perkembangan suatu tingkat kecerdasan masyarakat yang masing gampang sekali dibingungkan oleh suatu informasi karena kaburnya sang Nara Sumber, mana yang bisa dijadikan referensi.

Bahkan sebuah konferensi pers-pun ternyata bisa kalah oleh hiruk pikuknya pemberitaan dan komentar-komentar di luar.

Mudah-mudahan sisi-sisi moralitas, kemaslahatan dan nilai manfaat bisa dikedepankan ketimbang selalu mengedepankan sisi-sisi bisnis yang kadang kala berbenturan dengan norma-noram maupun nilai-nilai religi.

Peace Indonesia

Senin, 10 Mei 2010

Rezeki Itu Datang

Banyak manusia merasa khawatir dalam mencari rezeki karunia Allah SWT. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang rela menggadai diri dan menghinakan martabat.

Kondisi dunia modern yang sarat persaingan dan pergulatan menuntut mereka untuk lebih berjibaku dalam mencari nafkah berupa karunia Tuhan. Betapa banyak setiap pagi di belahan bumi manapun di dapati wajah-wajah penuh ketegangan dan kepanikan yang memancarkan rona khawatir dalam mengais rezeki di pagi hari.

Seolah, mereka tidak memiliki Tuhan yang Maha Kaya Yang Mampu menjamin rezeki setiap hambaNya. Dialah Allah, Ar Razzaq Sang Pemberi Rezeki.

Hal yang sering luput dari diri manusia zaman modern ini adalah keimanan dan keyakinan bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki dan nafkah setiap hambaNya. Karena keyakinan ini semakin memudar, maka setiap individu bergulat dan berkutat dalam kehidupan dunia demi memenuhi kebutuhan hidup belaka.

Dalam kitab Mirqaat al Mafatiih, terdapat kutipan pernyataan Al Qusyairi yang mengatakan; “Seseorang yang mengetahui bahwa Allah itu adalah Sang Pemberi Rezeki, berarti ia telah menyandarkan tujuan kepadaNya dan mendekatkan diri dengan terus bertawakal kepadaNya.”

Pernyataan Al Qusyairi ini penting untuk diyakini bahwa memang kunci mendapatkan rezeki adalah dengan mendatangi Sang Pemilik rezeki yaitu Ar Razzaq! Sebab dengan mendatanginya maka segala hal kebutuhan akan terpenuhi.

Apakah kita belum pernah mendengar hadits yang amat masyhur ini: “Hai manusia, jika dari generasi pertama sampai terakhir, baik jin dan manusia berkumpul dalam satu tempat untuk meminta kepadaKu, lalu masing-masing orang meminta untuk tidak mengurangi kebutuhannya, niscaya hal tersebut tidak mengurangi sedikitpun dari kekuasaanKu, kecuali hanya seperti jarum yang dicelupkan di laut.” (HR. Muslim).

Ini semua bukanlah demi menafikan sebuah ikhtiar mencari nafkah atau bekerja. Tetap saja bekerja sebuah prasyarat mulia untuk mendapatkan nafkah, dan para Nabi; manusia terhormatpun tetap melakukannya.

Namun tekanan yang terpenting dalam mencari rezeki dan nafkah adalah ketaatan kepada Allah Sang Pemberi rezeki.

Dalam Kitab Shahih Al Jami’ disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sesungguhnya malaikat Jibril menghembuskan ke dalam hatiku bahwasanya jiwa hanya akan mati sampai tiba masanya dan memperoleh rezekinya, maka bertakwalah kepada Allah, carilah nafkah yang baik, jangan bermalas-malasan dalam mencari rezeki, terlebih mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya Allah tidak akan memberikan apa yang dicarinya kecuali dengan taat kepadaNya.”

Sebab itu, usahlah panik dalam mencari karunia Allah SWT berupa rezeki. Yakinilah bahwa rezeki itu datang, bahkan kedatangannya menghampiri diri kita begitu cepat.

“Sesungguhnya rezeki itu akan mencari seseorang dan bergerak lebih cepat daripada ajalnya.” (HR. Thabrani)
Semoga Allah memberkahi rezeki & hidup kita bersama. Amien

Bobby Herbibowo

USAHA DAN REZEKI

Muhammad Ali Al-Hasan

Kalau kita perhatikan definisi rezeki, maka jelaslah bagi kita kesalahan yang telah tersebar, bahwa usaha itu adalah penyebab datangnya rezeki. Asumsi yang seperti ini, adalah asumsi yang salah sama sekali. Karena kita masih banyak menyaksikan orang yang dengan gigih berusaha untuk mendapatkan rezeki yang ia inginkan, namun rezeki itu tidak kunjung datang. Kita juga masih banyak melihat orang yang tidak berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan rezeki, namun rezeki itu datang kepadanya dengan tanpa disangka-sangka. Di dalam Alquran juga telah ada tuntunan yang dapat memperkokoh pendapat ini. Allah Swt telah menceritakan kepada kita, tentang sebuah kejadian antara Nabi Musa as, dengan seorang hamba yang saleh dan telah diberi ilmu pengetahuan oleh Allah Swt. sebagaimana firman-Nya:

"Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak muda yang yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya seorang yang shaleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya, dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu, dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."(QS. Al-Kahfi: 82).

Harta simpanan orang saleh tersebut berada di sebuah kota, di mana penduduknya sangat kikir, dan tidak mau memberi makan terhadap Nabi Musa as dan Nabi Khidhir as., sementara bangunan yang di bawahnya terdapat sebuah simpanan harta benda yang hampir roboh. Kemudian Nabi Khidhir as. membangunnya kembali, sehingga bangunan itu tidak roboh, kecuali setelah kedua anak itu dewasa dan dapat menjaga harta simpanan itu dengan sebaik-baiknya. Padahal kalau kita berpikir sejenak, maukah kita membangun sebuah bangunan dengan tanpa ongkos atau upah? Namun ternyata Nabi Khidhir ini membangun sebuah bangunan dengan tanpa mengharapkan ongkos dan upah sama sekali, atas perintah Allah Swt, agar harta simpanan kedua anak itu dapat terjaga dengan baik. Harta simpanan itu sendiri merupakan rezeki bagi orang-orang miskin yang berada di tengah-tengah penduduk yang kikir itu.

Kisah yang dipetik dari Alquran tersebut, maupun kisah-kisah nyata lainnya yang terjadi di tengah-tengah kita, dapat memberi kejelasan bagi kita, bahwa usaha itu bukanlah penyebab datangnya rezeki. Karena sebuah sebab dapat memberikan nilai terhadap musabab. Kita dapat menyaksikan Alquran menceritakan kisah tersebut, kemudian diperkuat dengan kejadian-kejadian yang terpampang di depan mata kita, bahwa ada orang yang tidak berusaha, namun dia mendapatkan rezeki. Maka hal ini dapat memperkokoh keyakinan kita, bahwa usaha itu bukanlah penyebab datangnya rezeki. Namun dapat kita katakan, bahwa usaha itu merupakan keadaan dan hiasan serta pembungkus yang dapat memberikan nilai tersendiri terhadap rezeki. Sebab rezeki itu sendiri tidak datang dari usaha [kita semata-mata].

Jadi rezeki merupakan cakupan keagungan Allah Swt, yang di dalamnya terdapat hikmah yang sempurna, namun kita masih belum memahaminya.1 Kita lihat bahwa rezeki itu tidak datang dengan adanya usaha kita, dan dia juga tidak hilang dengan keinginan kita. Di dalam suatu kesempatan, kita dapat melihat beberapa kasus tentang nilai sebuah usaha terhadap eksistensi rezeki. Di dalam kesempatan lain kita juga melihat beberapa kasus, di mana sebuah usaha kita tidak mempunyai nilai sama sekali terhadap eksistensi rezeki. Beberapa kasus yang dapat kita lihat tersebut, dapat memberikan pelajaran kepada kita bahwa di balik usaha itu terdapat sebuah kekuatan yang dapat mengatur perjalanan dan eksistensi rezeki itu sendiri. Kekuatan itu dapat diketahui melalui perasaan, dan eksistensinya dapat diketahui dengan adanya tanda-tanda yang ditimbulkannya. Sebagaimana kita mengetahui bahwa Allah Swt itu ada, dengan adanya makhluk yang ada di alam semesta ini. Al-Ghazali pernah berkata: "Barangsiapa yang memperhatikan perjalanan sunnatullah, maka dia akan mengetahui bahwa rezeki itu datang bukanlah disebabkan oleh adanya usaha. Pada suatu hari, datanglah seorang yang telah kehilangan semangat kepada seorang hakim, lantas menanyakan tentang mengapa ada seorang yang bodoh, namun dia mendapatkan rezeki yang layak, sedangkan di sisi lain, ada seorang yang mempunyai otak cemerlang, namun tidak mendapatkan rezeki yang layak. Mendengar pertanyaan itu, sang hakim menjawab: "Jika setiap orang yang mempunyai otak cemerlang mendapat rezeki yang layak, dan setiap orang yang bodoh tidak mendapatkan rezeki yang layak, maka akan timbul sebuah asumsi, bahwa seorang yang mempunyai otak cemerlang dapat memberikan rezeki terhadap temannya. Akibatnya, setelah orang lain tahu dan berpandangan bahwa yang dapat memberikan rezeki itu adalah temannya sendiri, maka tidak ada artinya usaha yang mereka lakukan untuk mendapatkan rezeki tersebut." 2 Seorang penyair pernah melantunkan syairnya:

Kalaulah semua rezeki hanya berjalan di telapak tangan orang cemerlang,

maka hancurlah binatang-binatang yang bodoh.

Adapun tanggung jawab terhadap sebuah pekerjaan, merupakan sebuah keharusan bagi setiap manusia. Namun yang tidak dapat dilupakan adalah bahwa Allah Swt mempunyai hak untuk mengatur rezeki bagi setiap manusia. Faktor yang kedua inilah yang sangat menentukan dibandingkan usaha yang direalisasikan oleh manusia. Bahkan masuknya rezeki tidak dapat diperhitungkan, begitu juga dengan keluarnya. Dia datang dan pergi di luar sepengetahuan manusia. Hal itu disebabkan adanya rezeki itu di bumi, sedangkan penyebabnya berada di langit. Sebagaimana firman Allah Swt di dalam kitab suci Alquran:

"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu (rezeki yang ada di langit seperti turunnya hujan yang dapat menyuburkan tanaman-tanaman yang menjadi sebab rezekimu dan sebagainya) dan terdapat (pula) ada yang dijanjikan kepadamu (ialah takdir Allah terhadap tiap-tiap manusia yang telah ditulis di Lauhul Mahfudz). Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan." (QS. Adz-Dzâriyat: 22-23).

Ayat di atas dapat memperkuat pandangan bahwa rezeki itu berada di tangan Allah Swt. dan di dalam ayat tersebut, ada beberapa alat untuk memperkuat kandungan yang terdapat di dalamnya, sebagaimana yang telah diterangkan oleh para ulama, bahwa tidak ada taklid yang lebih kuat dibandingkan taklid yang ada di dalam ayat yang menerangkan tentang rezeki. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lihat sejenak tentang taklid yang berada di dalam ayat di atas. Pertama, Allah memperkuat ayat itu dengan bersumpah. Hal ini dapat kita lihat di dalam firman-Nya:

"Demi Tuhan langit dan bumi."

Kemudian Dia yang mentaklidnya dengan huruf ( ), kita tahu bahwa huruf itu merupakan Harfu Taukidin wa Nashbin. Kemudian Dia juga memperkuatnya dengan meletakkan huruf ( ) di dalam firman-Nya ( ). Dan huruf Lam tersebut merupakan huruf taukid, karena dia adalah Lam Muzhalaqah, sebagaimana yang telah dikatakan oleh para ahli bahasa. Kemudian Allah Swt juga memperkuatnya dengan memberikannya dengan memberikan huruf ( ) di dalam firman-Nya ( ). Dan akhirnya Dia menguatkannya dengan firman-Nya ( ) dengan tidak berfirman ( ) atau ( ). Adanya taklid yang begitu banyak dan beruntun tersebut, menunjukkan betapa eratnya ( ) (sesuatu yang dibicarakan) dengan ( ) (rezeki). Dari sinilah dapat kita katakan, bahwa pembicaraan tentang rezeki dan mendapatkan rezeki itu berasal dari satu tempat. Sebagaimana jika kita tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain, maka kita tidak akan mendapat rezeki dari orang lain tersebut.

Adanya taklid yang begitu banyak dan beruntun itu, membuat orang Arab desa yang membaca ayat tersebut berkata: "Apakah gerangan yang menjadikan Zat Yang Mahaagung marah sehingga Dia bersumpah. Mungkinkah karena banyak orang yang tidak mempercayai firman-Nya, sehingga Dia bersumpah." Setelah berkata demikian, orang itu membaca ayat tersebut, seraya menghela nafasnya dalam-dalam3. Setelah kita bahas tentang hakikat ini secara panjang lebar, maka dapatlah kita simpulkan bahwa usaha itu bukanlah rezeki dan bahwa usaha tidak berarti akhirnya akan menghasilkan rezeki. Oleh karena itu, sebuah usaha bukanlah penyebab datangnya rezeki, meskipun dia juga sangat dibutuhkan dalam mencari rezeki, namun tidak berarti dia [satu-satunya] akan dapat menambah rezeki. Maksudnya, bukan berarti menghapus peranan usaha, akan tetapi sikap menerima terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Ada seorang ulama yang berkata: "Sebenarnya, ketentuan rezekimu tidak mewajibkan kamu untuk bekerja sampai melupkan urusan akhiratmu. Sebab kamu tidak akan mendapatkan masalah duniawi, kecuali sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah Swt."4

Pembicaraan kita tentang rezeki ini, dimaksudkan untuk membendung asumsi-asumsi salah, yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Di antara asumsi-asumsi yang salah tersebut adalah:

Pertama, ada sebuah asumsi yang mengatakan, bahwa rezeki akan berkurang jika dia diinfakkan di jalan yang benar, seperti jihad di jalan Allah, memberi makan terhadap orang-orang fakir dan miskin dan lain sebagainya, yang termasuk ke dalam kategori jalan yang sesuai dengan syariat Islam. Asumsi yang salah ini telah banyak meracuni manusia di zaman modern ini. Bahkan juga telah banyak meracuni orang-orang terdahulu, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Ayyub.

Al-Alusi pernah berkata: "Telah diriwayatkan oleh beberapa orang, dari 'Imran bin Hushain, dia berkata: "Kami pernah berada di Konstantinopel, kemudian, keluarlah satu barisan manusia dengan jumlah yang sangat besar dan terdiri dari orang-orang Romawi, sehingga terbawalah seseorang dari orang-orang Muslim dan masuk ke dalam barisan mereka. Kemudian orang-orang berkata: "Dia telah menjatuhkan dirinya kepada kebinasaan, akibat ulahnya sendiri." Mendengar ucapan itu, berdirilah Abu Ayyub Al-Anshari, seraya berkata: "Sesungguhnya, kalian telah mentakwilkan ayat ini dengan takwilan yang kalian lontarkan. Ayat ini sesungguhnya turun terhadap kami kaum Anshar. Sebab setelah Allah Swt menjadikan agama ini agung dan penolongnya pun banyak, sebagian dari kami berkata terhadap sebagian yang lain dengan secara rahasia dan tanpa melaporkan hal ini kepada Rasulullah saw: "Sesungguhnya harta-harta kita telah hilang dan Allah Swt telah mengagungkan agama ini dan penolongnya pun telah banyak. Kemudian apakah salahnya jika kita bekerja untuk membangun harta kami, dan memperbaiki harta yang telah hilang dari kita."

Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi tentang hal yang serupa, dari Al-Hasan: "Sesungguhnya ucapan kebinasaan itu mempunyai arti kekikiran. Karena kekikiran itu dapat menyebabkan kebinasaan yang kekal."5 Jadi, yang masuk kepada jurang kebinasaan bukanlah orang yang memerangi musuh sehingga dia terbunuh, dan bukan pula orang-orang yang menafkahkan sebagian hartanya atau keseluruhannya di jalan Allah Swt. Namun, yang dimaksud kebinasaan ini adalah meninggalkan jihad di jalan Allah dan infak di jalan-Nya, sebab keduanya tidak akan pernah mengurangi jatah rezeki, sebagaimana yang banyak diasumsikan oleh kebanyakan orang.

Kedua, ada sebuah asumsi bahwa dengan bertambahnya anak, berarti berkurangnya rezeki mereka dan rezeki anak-anak mereka. Sebab, menurut mereka, rezeki yang dibagikan kepada empat orang tidak sama dengan rezeki yang dibagikan kepada lima orang. Maka kalau kita perhatikan, adanya asumsi bertambahnya anak dapat mengurangi rezeki, adalah menyangkut masalah logaritma. Seperti sepertiga tidak sama dengan seperempat, dan seperlima tidak sama dengan seperenam.

Sebelum kita membicarakan tentang bagaimana kita membendung asumsi yang salah ini, terlebih dahulu kita membicarakan tentang hakikat yang dapat kami tentukan di sini bahwa diperbolehkan bagi seorang laki-laki dan perempuan merencanakan tentang jumlah anak-anaknya. Kepada mereka diperbolehkan pula untuk menempuh cara-cara yang dapat mencegah bertambahnya anak, baik cara itu adalah cara-cara yang lama, maupun cara-cara yang modern, baik cara itu dengan cara 'azl (mencabut kemaluan laki-laki dari kemaluan perempuan sebelum keluarnya sperma) seperti yang dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana diriwayatkan: "Kami pernah melakukan 'Azl, sedangkan pada saat itu Alquran turun, seandainya pekerjaan itu merupakan sebuah larangan, niscaya Rasulullah saw akan melarang kami." Atau mempergunakan sesuatu yang semisal dengan 'azl, sebagaimana usaha-usaha yang dilakukan di zaman modern sekarang ini.

Masalah ini adalah boleh hukumnya, menurut pandangan syariat. Sebab hal ini bukanlah dakwah untuk membatasi keturunan, sebagaimana yang telah banyak dibicarakan di zaman sekarang, dan dia juga bukanlah sesuatu yang diharamkan oleh syara' secara keseluruhannya. Kita menentukan hal ini dengan syarat 'azl dan yang semisal dengannya itu, dilakukan khususnya jika terdapat 'udzur yang dapat membolehkannya, dan untuk menjaga kesehatan sang istri. Namun, kami tidak menerima sama sekali, jika hal itu dilakukan karena rasa takut berkurangnya rezeki. Di dalam Alquran ada dua ayat yang sangat bertentangan dengan asumsi yang salah ini. Karena kedua ayat ini disebutkan dengan nada yang sama, maka ada sebagian orientalis yang mengatakan, bahwa pengulangan ayat tersebut tidak ada gunanya sama sekali. Bahkan sebagian orang Muslim yang mempunyai asumsi bahwa bertambahnya anak dapat mengurangi jatah rezeki, juga meragukan eksistensi pengulangan kedua ayat tersebut.

Sedangkan kedua ayat tersebut satu di antaranya berada di dalam surat Al-Isrâ, sebagaimana firman-Nya: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu..." (QS. Al-Isrâ': 31)

Sedangkan ayat yang kedua terdapat di dalam surat Al-An'âm, sebagaimana firman-Nya:

"...Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka..." (QS. Al-An'âm: 151).

Karena adanya rasa takut ini, maka seorang ayah sibuk mencari rezeki, agar dia tidak terjerumus ke dalam jurang kemiskinan yang ia takuti itu. Padahal Allah Swt telah berfirman : "...Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka." (QS. Al-An'âm :151).

Maksud dari ayat ini adalah, jagalah stabilitas rezekimu, maka tidak akan pernah berkurang, kemudian akan datang rezeki yang baru untuk anak-anakmu.

Itulah perbedaan di antara kedua ayat tersebut, yang menurut sebagian orientalis kedua ayat tersebut adalah sebuah pengulangan, yang tidak mempunyai faedah sama sekali di dalam Alquran. Untuk menjawab asumsi mereka itu, maka kita dapat katakan bahwa tidak ada sebuah pengulangan di dalam Alquran yang tidak ada faedahnya, namun setiap ayat datang untuk memperbaiki sebuah keadaan yang belum diperbaiki oleh ayat-ayat lain. Allah Swt dengan mengemukakan kedua ayat tersebut adalah untuk membalikkan pandangan kita bahwa rezeki meskipun dia datang secara mujamal, namun dia harus digunakan secara terpisah. []

Catatan Kaki :
1. Asy-Syaikh Asy-Sya'rawi, Ar-Rizq, edisi 1, hal.15.

2. Al-Ghazali, At-Tauhid wa at-Tawakkal, hal.107.

3. Al-Alusi, Ruhul Ma'ani, jilid 27, hal.10.

4. Al-Ghazali, At-Tauhid wa at-Tawakkal, hal.17.

5. Al-Alusi, Ruhul Ma'ani, hal.77.

Kamis, 06 Mei 2010

Celotehan Pikiran

Organisasi sebagai salah satu hasil cipta karsa manusia, telah melahirkan sejumlah kemudahan sekaligus kerumitan di dalamnya.

Tidak sedikit yang dimudahkan oleh kelahirannya tetapi banyak juga yang kelimpungan karena berada di dalamnya.

Demikian juga Negara Indonesia sebagai sebuah Organisasi Besar di Negeri ini pastinya juga tidak luput dari kemudahan dan kerumitan di dalamnya.

Ibarat umur ... tidak ada yang bisa menghentikan bahwa umur negara ini juga selalu bertambah, dan mustahil untuk dipause/dipending atau sebangsanya.

Setiap penggal umur negeri ini tentunya ada saja moment-moment yang mengisinya, baik yang menyenangkan, sedang-sedang saja maupun moment yang cukup sulit bahkan merupakan lembaran kelam negeri ini.

Sebagai manusia yang menyadari akan posisinya sebagai makhluk tentu kita tidak memungkiri bahwa kita tercipta dengan segala kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing.

Dan sesuai dengan kodrat bahwa manusia tempatnya salah dan lupa, sehingga OJO GUMUNAN kalau saat ini media mempertontonkan itu semua.

Yang perlu digumini kalau / seandainya / umpamanya kita berada di dalamnya, mungkin perlu berpikir beberapa kali kenapa kok bisa. Istighfar dan mohon ampun kepada Alloh dan mudah-mudahan diberi kekuatan untuk keluar dari dalamnya.

Umur kemerdekaan negara Indonesia tentunya juga akan terus bertambah, siapa dan bagaimanapun kondisinya "THE SHOW MUST GO ON".

Sekuat apapun reka daya Manusia pada dasarnya tidak akan berpengaruh banyak kepada sesuatu yang sebenarnya sudah ditentukan oleh-Nya.

Sebagus apapun sistem yang dibuat manusia andaikata Gunung sudah waktunya meletus maka dia juga akan meletus, peringatan dini secanggih apapun tidak akan menyelamatkan kalau memang sudah waktunya dipanggil oleh-Nya. Bahkan Obat semahal apapun pada dasarnya tidak bisa menjamin 100% akan kesembuhan.

Semoga Alloh senantiasa menuntun kita di Jalan-Nya, memberikan kekuatan atas kelemahan-kelemahan kita dan menyelamatkan kita dari segala keterpurukan.

Astaghfirullah hal adzim

Kamis, 29 April 2010

SANDARKAN HANYA PADA SANG PEMILIK KEHIDUPAN

Sang Maha Pencipta telah menciptakan makhluk dengan segala perangkatnya lengkap untuk menopang bagi kehidupannya.

Kalaupun takaran dan jenisnya tentu akan berbeda-beda karena memang itulah kodratnya bahkan dalam rupa kembar sekalipun pasti ada perbedaannya.

Janganlah takut (samar : jawa) karena sang Pemilik Kehidupan tidak pernah tidur, tidak pernah lupa dan tidak pernah lalai. Dia pasti akan selalu menyediakan sumber kehidupan bagi makhluknya.

Yang sering muncul adalah kepesimisan manusia sendiri, dapat 1 piring seharusnya berpikirnya alhamdulilah bisa buat makan sekali, tetapi karena hawa nafsu dan keinginanlah yang mendorong manusia berpikir untuk kebutuhan 1 bulan mendatang seiring dengan kemajuan ilmu manajamen (planning) sehingga menjadikannya gelisah akan ketidak cukupannya untuk kebutuhan 1 bulan ke depan yang belum dipegang hari itu.

Pernahkan berpikir akankah umur sampai akhir bulan ini ? Besok ? Lusa ?

Keoptimisan yang salah penempatan bisa menjadi bumerang bagi manusia sehingga tidak akan merasa puas/cukup karena kecenderungan untuk menggunakan takaran yang lebih tinggi dari apa yang dipegangnya (sudut pandang kemajuan yang salah kaprah)

Kiranya pemikiran ini yang menurut penulis melahirkan Sang Koruptor, Sang pendampa materi, Sang pendamba kemewahan.

Mudah-mudahan Alloh selalu mengingatkan akan hal itu. Amin

Peace Indonesia

Kamis, 15 April 2010

FENOMENA ZAMAN

Perlunya Ketulusan Sang Pemilik Jalur Komunikasi

Sejak zaman nenek moyang yang namanya berantem sih sudah ada, karena itu sudah kodrat / sesuatu yang sudah digariskan oleh Sang Khaliq.

Bahkan berdasarkan buku sejarah yang sering kita baca, dari zaman kerajaan-kerjaan sampai dengan jaman Republik ini, kisah perseteruan baik yang bersifat suku, agama ras, keturuan, politik, kekuasaan dan sebagainya memang sudah ada.Perbedaannya sangat tipis baik motivasi, maupun akibat yang ditimbulkan.

Adapun perbedaan terbesar adalah pada masalah dokumentasi / penyebaran beritanya. Sejak ditemukan teknologi komunikasi yang mutakhir, bahkan di sudut dusun yang sempit sekalipun sudah bisa mengikuti berita terbaru yang terjadi di pusat ibukota.

Seiring dengan itu, tak ayal lagi kalau efek berantai dari suatu kejadian di suatu tempat yang disiarkan secara menyeluruh akan berefek kepada sendi2 kehidupan secara menyeluruh meskipun kadarnya berbeda-beda tentunya.

Yang penulis juga sayangkan, rata2 yang terpancar secara menyeluruh justru sisi-sisi yang secara hitung-hitungan kok yang negatif ya.

Kalau boleh bermimpi bagaimana kalau ada suatu kekuatan di sisi penyebaran berita / penyiaran yang secara konsisten dipancarluaskan ke seluruh negeri ini dan mempunyai propaganda yang luar biasa untuk membuat setiap individu terprovokasi untuk yang positif tentu akan sangat efektif sekali.

Andai saja. Mudah-mudahan.

PEACE INDONESIAKU

Jumat, 12 Maret 2010

PILIHAN

Atas kuasa dan kebesaranNya, setiap detik selalu disediakan OlehNya option karena sang Maha Demokrasinya Tuhan Yang Esa.

Pilihan tidak baik alias jahatpun disediakan olehNya... karena pada dasarnya tidak ada yang sia-sia atas segala CiptaanNya, termasuk penjahat sekalipun.

Hitam diciptakan untuk membedakan dengan putih. Terang untuk membedakan yang gelap.

Yang kuasa juga pasti sudah menjelaskan akan konsekuensi dari masing-masing pilihan tanpa bermaksud untuk mengintervensi tetapi lebih kepada seruan.


Dengan semakin pintarnya akal/otak manusia akan semakin banyak option2 yang muncul bahkan dengan segala analisis ilmiah dan sebagainya untuk menguatkan akan satu option yang pada suatu keadaan dicoba dipaksakan untuk bisa diterima oleh semua orang bahkan dengan kata harus.

Kiranya pikiran jernih dengan dilandasi kalbu yang bersih perlu dimunculkan dan keluar dari pamrih akan suatu pilihan kiranya bisa membuka hati akan pilihan yang Benar Hakiki kebearanya.

Peace

Rabu, 03 Maret 2010

Ngono yo ngono, ning ojo ngono

Demontrasi tetaplah demonstrasi, bukan bela diri bahkan aksi keji.
Dimanakah akal budi, ketika saudara di peti mati, hanya karena korupsi.
Ngono yo ngono, ning ojo ngono.

Mencuri tetaplah mencuri, meski hanya secuil roti.
Dimanakah keadilan bersembunyi, ketika juragan korupsi melenggang pergi, pencuri roti di balik jeruji.
Ngono yo ngono, ning ojo ngono.

Penguasa tetaplah penguasa, lebih digjaya dari jelata.
Dimanakah engkau para penguasa, ketika mereka dirundung duka.
Ngono yo ngono, ning ojo ngono.

Semoga semuanya semakin mengedepankan nurani dan akal budi dari pada aksi belati.
Dalam bahasa Indonesia, "Ngono yo ngono, ning ojo ngono" tsb diartikan kurang lebih "Bolehlah begitu, namun (caranya) jangan begitu".

from choirul huda

Minggu, 28 Februari 2010

YANG TERLUPAKAN SIAPA SANG MAHA ADIL

Dengan semakin rumit, pelik, kacau dan tidak terkendalinya permasalahan oleh para pemegang kekuasaan, pelaksana keadilan, aparat penegak hukum serta semua aturan yang sudah begitu banyak dibuat bahkan sampai tumpang tindih satu sama lain, kiranya perlu ditengok ulang siapakah sebenarnya Sang Maha Adil sejati.

Tentu dengan sangat cepat akan bisa dijawab Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak pada tempatnya apabila menuntut keadilan yang seadil-adilnya pada tataran keputusan Manusia, barangkali hanya sedapat mungkin mendekati.

Berdo'a agar bisa berlaku adil dalam tataran sebaik-baiknya pada porsi kemanusiaan/makhluk dan sedapat mungkin tidak melanggar hukum.

PEACE INDONESIA

Kamis, 18 Februari 2010

LA TANZHUR ILA MAN QAALA WAN ZHUR ILAA MA QAALA (PILIH KULIT ATAU ISI)

Jangan pandang siapa yang berkata, tapi pandanglah apa kata-katanya

Kalimat ini diucapkan oleh Sayidina Ali, salah satu sahabat dekat Rasulullah SAW untuk mengingatkan agar kita hendaknya tidak cenderung melihat SIAPA YANG BERBICARA. Namun lihatlah SUBSTANSI ATAU ISI yang DIBICARAKANNYA. Di Jaman sekarang ini, semakin menjadi-jadi orang dilihat dan dinilai dari kulit luarnya. Orang menghargai orang karena kekayaannya, jabatannya, pangkatnya, statusnya, kendaraannya, rumahnya, kerjanya dimana, usianya berapa, isterinya siapa, suaminya siapa, anaknya siapa dan seterusnya.

Padahal, kalau kita mau meluangkan waktu sejenak untuk menggali kejernihan perenungan… semua predikat itu hanyalah baju-baju duniawi yang hanya sesaat disandang oleh seseorang. Predikat itu kemudian dijadikan parameter untuk menilai dan melegitimasi kebenaran sehingga aspek isi dinomorduakan.

Bila yang mengatakannya menteri, bila yang menyampaikannya presiden, bila yang berpidato itu ulama atau ustadz yang terkenal, bila yang tampil itu spiritualis kondang maka kita akan dengan mudah PERCAYA terhadap informasi yang disampaikannya. Namun, bila yang mengatakannya itu Mas Bejo, yang menyampaikan Mas Tarno, yang koar-koar itu Anda atau saya maka dianggap angin lalu dan disebut mengada-ada dan TIDAK DIPERCAYA.

Inilah gejala penyakit di masyarakat yaitu LEBIH SUKA KULIT DARI PADA ISI. Kita semua harus mengakui kena penyakit ini. Sebuah penyakit kronis yang sumber asalnya adalah KEDANGKALAN SPIRITUAL KARENA KITA MASIH BELUM MELAKONI TAHAPAN-TAHAPAN PERJALANAN SPIRITUAL LANJUTAN.

Dalam konteks beribadah kita masih sibuk dengan menata syariat, tata cara, hukum, rambu-rambu saja. Kita masih belum menyentuh wilayah tariqat yang lebih dalam lagi, apalagi menuju hakikat yaitu wilayah akal budi yang akan tercerahkan karena mendapatkan kebijaksanaan. Hingga mampu untuk bermakrifat, yaitu mengenal rahasia-rahasia ketuhanan. Rambu-rambu (baca syariat) tetaplah hal yang penting dan harus dijalani karena kalau tidak dijalani, kita bisa kena tilang oleh polisi yang mengawasi jalannya hidup ini yaitu malaikat.

Namun jangan lupakan, bahwa kendaraan kita juga harus tetap melaju di jalan (tariqat) sebaik-baiknya dengan bekal dan persiapan mental yang matang agar kita sampai pada tujuan hidup yaitu mencari kebenaran dan mencintai kebijaksanaan (PHILO–SOPHIA), dan kemudian bisa mengenal bahkan bertemu langsung dengan SANG PEMILIK KENDARAAN yaitu TUHAN YANG MAHA PENCIPTA.

Dunia pendidikan sekarang juga setali tiga uang, yaitu dihinggapi penyakit LEBIH SUKA KULIT DARI PADA ISI. Lebih mementingkan output yang berorientasi jangka pendek, praktis, laku di dunia kerja daripada menghasilkan SDM memahami proses dan metode untuk kemudian menemukan sendiri langkah dan cara yang lebih bijaksana, manusiawi dan menyejahterakan peradaban lahir dan batin.

Syariat dan hakikat itu seperti lahir dan batin, seperti pohon kayu dan kulit kayu. Kayu yang hanya tinggal intinya dan tidak berkulit maka tidak akan lama usianya. Dan kayu yang remuk, dan hanya tinggal kulitnya saja tidak kuat menghadapi angin yang kencang. Pohon itu akan roboh dalam waktu yang singkat. Kita jelas mencela orang-orang yang hanya membaca apa yang tersurat saja. Namun kita juga tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan dan kesadaran yang hakikat semata karena akan menjadikan kita gerombolan orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Keduanya akan sama-sama rugi bila tidak saling melengkapi. Jadilah kayu SYAJAROTIN THAYYIBATIN, kayu yang indah murni, berdahan, bercabang, beranting dan berdaun subur.

Itulah ILMU SEJATI yang bisa dijelaskan sebagai “Filsafat sebagai penjelasan hidup, kesusasteraan sebagai nyanyian hidup, kesenian sebagai perhiasan hidup dan tasawuf sebagai intisari hidup dan ibadah sebagai pegangan hidup. Semuanya untuk hidup, karena hidup yang tinggi dan panjang adalah hidup yang bernilai. Bahkan maut sendiri adalah tonggak awal dari hidup yang lebih bernilai.”

Salah satu hakikat yang perlu dipahami oleh masyarakat yang sudah dewasa pola pikirnya sekarang ini adalah hakikat agama. Ini cukup penting untuk disampaikan karena semakin hari terjadi gejala penyempitan nalar publik yang berujung pada radikalisasi gerakan-gerakan umat beragama secara diam-diam. Hakikat agama adalah semuanya menuju Allah SWT. Seorang yang arif bijaksana akan memandang bahwa yang siapa sejatinya yang disembah berbeda dengan simbol penyembahan. Menyembah berhala atau menyembah Ka’bah itu hakikatnya sama kalau itu yang disembah. Semua obyek itu hanya simbol dan lambang, baik api, patung, batu, arca, atau Ka’bah. Kita tidak menyembah simbol namun apa yang ada di balik simbol tersebut, yaitu menghadirkan “Allah SWT” sebagai satu-satunya Pencipta segala yang ada. Beribadah yang sah adalah bila dipandang bahwa segala bentuk, segala rupa, segala yang tampak ini sebagai kenyataan dari HAKIKAT YANG ESA. Inilah METAFISIKA KESATUAN!

Sumber : @wongalus, 2010

AJARAN KEBAJIKAN (PIWULANG KAUTAMAN)

Falsafah Ajaran Hidup Jawa memiliki tiga aras dasar utama. Yaitu: aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Aras keberadaban manusia implementasinya dalam ujud budi pekerti luhur. Maka di dalam Falsafah Ajaran Hidup Jawa ada ajaran keutamaan hidup yang diistilahkan dalam bahasa Jawa sebagai piwulang (wewarah) kautaman.

Secara alamiah manusia sudah terbekali kemampuan untuk membedakan perbuatan benar dan salah serta perbuatan baik dan buruk. Maka peranan Piwulang Kautaman adalah upaya pembelajaran untuk mempertajam kemampuan tersebut serta mengajarkan kepada manusia untuk selalu memilih perbuatan yang benar dan baik menjauhi yang salah dan buruk.
Namun demikian, pemilihan yang benar dan baik saja tidaklah cukup untuk memandu setiap individu dalam berintegrasi dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat.

Oleh karena itu, dalam Piwulang Kautaman juga diajarkan pengenalan budi luhur dan budi asor dimana pilihan manusia hendaknya kepada budi luhur. Dengan demikian setiap individu atau person menjadi terpandu untuk selalu menjalani hidup bermasyarakat secara benar, baik dan pener (tepat, pas).

Cukup banyak piwulang kautaman dalam ajaran hidup cara Jawa. Ada yang berupa tembang-tembang sebagaimana Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dll. Ada pula yang berupa sesanti atau unen-unen yang mengandung pengertian luas dan mendalam tentang makna budi luhur.

Misalnya : tepa selira dan mulat sarira, mikul dhuwur mendhem jero, dan alon-alon waton kelakon.

Filosofi yang ada dibalik kalimat sesanti atau unen-unen tersebut tidak cukup sekedar dipahami dengan menterjemahkan makna kata-kata dalam kalimat tersebut.

Oleh karena itu sering terjadi ”salah mengerti” dari para pihak yang bukan Jawa. Juga oleh kebanyakan orang Jawa sendiri. Akibatnya ada anggapan bahwa sesanti dan unen-unen Jawa sebagai anti-logis atau dianggap bertentangan dengan logika umum. Akibat selanjutnya berupa kemalasan orang Jawa sendiri untuk mendalami makna sesanti dan unen-unen yang ada pada khasanah budaya dan peradabannya.

Namun kemudian, sesanti dan unen-unen tersebut dijadikan olok-olok dalam kehidupan masyarakat.
Mulat sarira dan tepa selira diartikan bahwa Jawa sangat toleran dengan perbuatan KKN yang dilakukan kerabat dan golongannya.
Mikul dhuwur mendhem jero dimaknai untuk tidak mengadili orangtua dan pemimpin yang bersalah.

Alon-alon waton kelakon dianggap mengajarkan kemalasan.

Padahal ajaran sesungguhnya dari sesanti dan unen-unen tersebut adalah pembekalan watak bagi setiap individu untuk hidup bersama atau bermasyarakat. Tujuan utamanya adalah terbangunnya kehidupan bersama yang rukun, dami dan sejahtera. Bukan sebagai dalil pembenar perbuatan salah, buruk dan tergolong budi asor. Makna dari mulat sarira dan tepa selira adalah untuk selalu mengoperasionalkan rasa pangrasa dalam bergaul dengan orang lain.

Mulat sarira, mengajarkan untuk selalu instropeksi akan diri sendiri.”Aku ini apa? Aku ini siapa? Aku ini akan kemana? Aku ini mengapa ada?” Kesadaran untuk selalu instropeksi pada diri sendiri akan melahirkan watak tepa selira, berempati secara terus menerus kepada sesama umat manusia. Kebebasan individu akan berakhir ketika individu yang lain juga berkehendak atau merasa bebas. Maka pemahaman mulat sarira dan tepa selira merupakan bekal kepada setiap individu yang mencitakan kebebasan dalam hidup bersama-sama, bukan?

Mikul dhuwur mendhem jero, meskipun dimaksudkan untuk selalu menghormat kepada orangtua dan pemimpin, namun tidak membutakan diri untuk menilai perbuatan orangtua dan pemimpin. Karena yang tua dan pemimpin juga memiliki kewajiban yang sama untuk selalu melakukan perbuatan yang benar, baik dan pener. Justru yang tua dan pemimpin dituntut ”lebih” dalam mengaktualisasikan budi pekerti luhur. Orangtua yang tidak memiliki budi luhur disebut tuwa tuwas lir sepah samun. Orangtua yang tidak ada guna dan makna sehingga tidak pantas ditauladani. Pemimpin yang tidak memiliki budi luhur juga bukan pemimpin.

Alon-alon waton kelakon, bukan ajaran untuk bermalas-malasan. Namun merupakan ajaran untuk selalu mengoperasionalkan watak sabar, setia kepada cita-cita sambil menyadari akan kapasitas diri.

Contoh yang mudah dipahami ada dalam dunia pendidikan tinggi. Normatif setiap mahasiswa untuk bisa menyelesaikan kuliah Strata I dibutuhkan waktu 8 semester. Namun kapasitas setiap mahasiswa tidaklah sama. Hanya sedikit yang memiliki kemampuan untuk selesai kuliah 8 semester tersebut. Sedikit pula yang prestasinya cum-laude dan memuaskan. Rata-rata biasa dan selesai kuliah lebih dari 8 semester. Dengan mengoperasionalkan ajaran alon-alon waton kelakon, maka mahasiswa yang kapasitas kemampuannya biasa-biasa akan selesai kuliah juga meskipun melebihi target waktu 8 semester.

Makna positifnya mengajarkan kesabaran dan tidak putus asa ketika dirinya tidak bisa seperti yang lain. Landasan falsafahnya, hidup bukanlah kompetisi tetapi lebih mengutamakan kebersamaan.

Banyak pula kita ketemukan Piwulang Kautaman yang berupa nasehat atau pitutur yang jelas paparannya. Sebagai contoh adalah sebagai berikut :

“Ing samubarang gawe aja sok wani mesthekake, awit akeh lelakon kang akeh banget sambekalane sing ora bisa dinuga tumibane. Jer kaya unine pepenget, “menawa manungsa iku pancen wajib ihtiyar, nanging pepesthene dumunung ing astane Pangeran Kang Maha Wikan”.

Mula ora samesthine yen manungsa iku nyumurupi bab-bab sing durung kelakon. Saupama nyumurupana, prayoga aja diblakakake wong liya, awit temahane mung bakal murihake bilahi.

Terjemahannya:
“Dalam setiap perbuatan hendaknya jangan sok berani memastikan, sebab banyak sambekala (halangan) yang tidak bisa diramal datangnya pada “perjalanan hidup” (lelakon) manusia.

Sebagaimana disebut dalam kalimat peringatan “bahwa manusia itu memang wajib berihtiar, namun kepastian berada pada kekuasaan Tuhan Yang Maha Mengetahui”.

Maka sesungguhnya manusia itu tidak semestinya mengetahui sesuatu yang belum terjadi. Seandainya mengetahui (kejadian yang akan datang), kurang baik kalau diberitahukan kepada orang lain, karena akan mendatangkan bencana (bilahi).”

Piwulang Kautaman memiliki aras kuat pada kesadaran ber-Tuhan. Maka sebagaimana pitutur diatas, ditabukan mencampuri “hak prerogatif Tuhan” dalam menentukan dan memastikan kejadian yang belum terjadi.


Sumber :Alang Alang Kumitir

70 RIBU JENIS HIJAB

Kenapa Tuhan Yang Maha Kuasa memberi keterbatasan pada manusia sehingga manusia tidak mampu langsung “melihat” Nya? Itu disebabkan karena kebanyakan mata manusia tidak mampu melihat betapa luar biasa “CAHAYA” yang terpancar pada Dzat-Nya. Hanya manusia yang berusaha keras ingin melihat, dan sudah memiliki PERSIAPAN KHUSUS yang mampu untuk melihat CAHAYA MAHA CAHAYA. Kecuali bila Anda diijinkan Tuhan melalui jalan pintas.

Dia akhirnya tersungkur, pingsan, tidak sadarkan diri, ekstase saat ingin melihat Dzat-nya yang sangat terang. Matanya nyaris buta bila dia tidak pingsan. Bahkan bisa-bisa langsung lenyap tanpa bekas. Menjadi arang bahkan debu pun saya rasa masih luar biasa.

Dialah Nabi Musa atau Moses –begitu orang Barat menyebut – saat menantang agar Tuhan menampakkan diri dalam wujud fisik. Bayangkan saja bagaimana bila kita melihat matahari dalam jarak ratusan kilometer sebagaimana jarak Musa melihat Tuhan? Pasti Musa akan terbakar habis, bis! Itu hanya satu matahari, bagaimana bila …dua…tiga…empat… semilyar sinar matahari yang kekuatan membakarnya dijadikan satu?

Sejatinya, Tuhan adalah Dzat yang Bukan Maha Pembakar. Dia adalah Maha Lembut dan Welas Asih, sehingga akhirnya dia menyapa Musa dengan bahasa kasih sayang. Tuhan memberikan cara untuk melihat-Nya: Hai Musa, Kau harus ekstase!. Musa hanya diminta untuk tidak menyadarkan “diri” yang masih diliputi oleh tirai kemanusiaan. Diri yang belum siap untuk bertatap “MUKA” dengan-NYA.

Bagaimana sesungguhya kehebatan CAHAYA TUHAN? Dalam Kitab Suci disebutkan dengan bahasa analogi, bahasa perumpamaan, agar manusia berpikir. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan CAHAYA-NYA adalah ibarat misykat. Dalam misykat itu ada PELITA. PELITA itu ada dalam KACA. KACA itu laksana bintang berkilau. Dinyalakan dengan minyak pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang bukan di Timur atau di Barat. Yang minyaknya hampir-hampir menyala dengan sendirinya, walaupun tidak ada API yang menyentuhnya. CAHAYA DI ATAS CAHAYA! ALLAH menuntun kepada CAHAYA-NYA, siapa saja yang Ia kehendaki. Dan ALLAH membuat perumpamaan bagi manusia. Sungguh ALLAH mengetahui segala sesuatu. (QS AN NUR, 35).

Kenapa Tuhan membuat perumpamaan dengan MISYKAT, KACA, PELITA, MINYAK DAN POHON? Jawaban ini tercantum dalam Hadits: Allah mempunyai tujuh puluh hijab (Tirai Penutup) CAHAYA dan KEGELAPAN. Seandainya DIA membukanya, niscaya CAHAYA WAJAHNYA akan membakar siapa saja yang melihatnya.

Masalah utama dalam untuk mengenali Dzat Tuhan yang tidak terbatas adalah ilmu dan pengetahuan dan akal kita sebagai manusia yang terbatas. Dia adalah wujud mutlak dari segala dimensi. Dzat-Nya, seperti ilmu, kuasa dan seluruh sifat-sifat-Nya, adalah tak terbatas. Dari sisi lain, kita dan seluruh yang bertalian dengan keberadaan kita, seperti ilmu, kuasa, hidup, ruang dan waktu, semuanya serba terbatas.

Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang kita miliki, bagaimana mungkin kita dapat mengenal wujud dan sifat yang mutlak dan tak terbatas? Bagaimana mungkin ilmu kita yang terbatas dapat menyingkap wujud nir-batas? Ya, dari satu sisi, kita dapat melihat dari jauh kosmos pikiran dan memberikan isyarat global ihwal Dzat dan sifat Allah swt. Akan tetapi, untuk mencapai hakikat Dzat dan sifat-Nya secara detail adalah mustahil bagi kita.

Dari sisi lain, wujud tanpa batas dari segala dimensi ini tidak memiliki keserupaan dan kesamaan. Dan ketakterbatasan ini hanyalah TUHAN SEMESTA ALAM. Sebab, sekiranya Dia memiliki keserupaan dan persamaan, maka kedua-duanya menjadi terbatas. Sekarang bagaimana kita dapat memahami wujud yang tak memiliki kesamaan dan keserupaan?

Segala sesuatu yang kita lihat selain-Nya adalah wujud yang mungkin, sedangkan sifat- sifat wajib al-Wujud berbeda dengan sifat yang lainnya. Kita tidak berasumsi bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang hakikat wujud Allah, tentang ilmu, kuasa, kehendak dan hidup-Nya. Akan tetapi, kita berasumsi bahwa kita memiliki pengetahuan global tentang hakikat wujud dan sifat-sifat-Nya. Dan kedalaman serta batin seluruh hal-hal ini tidak akan pernah kita ketahui. Dan kaki akal seluruh orang-orang bijak dunia, tanpa kecuali, dalam masalah ini tampak lumpuh: Dalam hadis yang diriwayatkan dari Imam Ash-Shadiq a.s. dikatakan: “Diamlah bilamana pembahasan sampai pada Dzat Allah”. Artinya, jangan membahas ihwal Dzat Tuhan.

Dalam masalah ini, seluruh akal buntu dan tidak akan pernah mencapai tujuannya. Berpikir tentang DZAT YANG TANPA BATAS melalui akal yang terbatas adalah mustahil. Karena segala yang dirangkum oleh akal bersifat terbatas; dan terbatas bagi Tuhan adalah mustahil. Dengan ungkapan yang lebih jelas, tatkala kita menyaksikan jagad raya dan seluruh keajaiban makhluk-makhluk, dengan segenap kompleksitas dan keagungannya, atau bahkan melihat wujud diri kita sendiri, secara umum,kita memahami bahwa jagad raya ini memiliki pencipta dan Sumber Awal.

Pengetahuan ini adalah pengetahuan global yang merupakan tahapan akhir bagi kekuatan pengenalan manusia tentang Tuhan. Namun, semakin kita mengetahui rahasia-rahasia keberadaan, semakin juga kita mengenal keagungan-Nya serta jalan pengetahuan global tentang-Nya semakin kuat. Akan tetapi, ketika kita bertanya kepada diri kita sendiri apakah hakikat Dia? Dan bagaimanakah Dia?

Ketika kita mengarahkan pikiran ke arah realitas DZAT TUHAN, kita tidak akan mendapatkan sesuatu selain keheranan dan rasa takjub. Kita akan mengatakan bahwa jalan untuk menuju ke arah-Nya adalah terbuka, dan jalan untuk menyentuh hakikatnya adalah tertutup. Itulan sebabnya, DZAT TUHAN dalam kitab suci hanya dipaparkan dalam bahasa perumpamaan saja. Namun perumpamaan dalam kitab suci, kita yakin bukan asal perumpamaan.

Perumpamaan ini hanya bisa bisa diinterpretasi dengan akal yang panjang dan hati nurani yang bersih, bening, tenang dan ikhlas. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana jalan atau cara untuk sampai pada pintu Tuhan, selanjutnya Bertemu dan Mampu untuk “melihat” Dzat-Nya?

Pada artikel saya terdahulu telah disebutkan bahwa jalan untuk menuju Tuhan adalah perjalanan untuk membersihkan hati dari berbagai penyakit, kotoran, nafsu-nafsu kemanusiaan sehingga kita akhirnya hati kita benar-benar bersih, berkilau dan akhirnya memiliki MATA HATI YANG BISA MELIHAT DZAT-NYA. Nurani yang terkoneksi secara otomatis sehingga “KEMANA KAU MENGHADAP DISITULAH WAJAH ALLAH.”

Sekarang, marilah kita menganalisa secara lebih detail apa saja HIJAB/ PENGHALANG/ TABIR PENUTUP/ DINDING yang harus dilewati oleh para pejalan sunyi yang dengan gigih ingin bertemu, bertamu, dan melihat WAJAHNYA YANG MAHA INDAH….

70 RIBU HIJAB

Dalam Hadits disebutkan sebagai berikut: Allah mempunyai tujuh puluh (riwayat lain menyebut tujuh ribu, tujuh puluh ribu) hijab CAHAYA dan KEGELAPAN. Seandainya DIA membukanya, niscaya CAHAYA WAJAHNYA akan membakar siapa saja yang melihatnya. Berarti manusia dari awalnya berstatus MAHJUB: dalam keadaan tertutupi dinding/hijab dari Tuhan. Manusia tidak mampu melihat TAJALLI pada Dzat-Nya (Tajalli: Menyatakan diri setelah hijab-Nya terbuka/tersingkap.

Dari TUJUP PULUH HIJAB tadi, menurut Al Ghazali bisa dikategorikan menjadi TIGA. PERTAMA: YANG TERHIJAB OLEH KEGELAPAN MURNI. KEDUA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA YANG BERCAMPUR DENGAN KEGELAPAN. KETIGA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA MURNI SEMATA-MATA.

PERTAMA: YANG TERHIJAB OLEH KEGELAPAN MURNI. (1). Tidak yakin ADA Tuhan (ATEIS). (2). Yakin penyebab segala sesuatu BERASAL DARI MATERI, DAN DARI ALAM. (3). Sibuk dengan DIRI SENDIRI, tidak sempat mempertanyakan penyebab terwujudnya alam semesta. Terlena dengan HAWA NAFSU, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Hawa Nafsu adalah sesembahan yang paling dibenci oleh Allah SWT.” Ketiga hijab ini memiliki banyak varian lagi.

KEDUA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA YANG BERCAMPUR DENGAN KEGELAPAN. Kegelapan berasal dari INDERA, Kegelapan berasal dari DAYA KHAYAL, Kegelapan berasal dari RASIO/ AKAL YANG SALAH.

(1). Menyembah BERHALA hingga percaya TUHAN BERJUMLAH DUA ATAU BANYAK. Termasuk percaya alam semesta itu Tuhan Yang Maha Indah. Percaya bahwa Tuhan bisa dilihat (mahsus). Mereka yang terhijab oleh CAHAYA KETINGGIAN, KECEMERLANGAN, KEKUASAAN, yang kesemuanya memang CAHAYA-CAHAYA ALLAH SWT (seperti menyembah bintang). Percaya bahwa Tuhan itu adalah Matahari, Tuhan adalah semua hal yang bercahaya> percaya bahwa Tuhan adalah CAHAYA MUTLAK YANG MENGHIMPUN SEMUA CAHAYA. Masih banyak lagi variasi hijab tingkat ini.

(2). Menganggap Tuhan bertubuh, yakin bahwa keberadaan Tuhan BISA DITUNJUKKAN di arah tertentu misalnya DI ATAS, termasuk mereka yang percaya bahwa Tuhan berada di luar alam dunia atau di dalam dunia. Sesungguhnya mereka ini tidak mengetahui bahwa persyaratan dasar sesuatu yang dapat dicerna akal adalah kemungkinannya untuk melampaui segenap arah dan ruang.

(3). Mereka yang menyimpulkan dengan akal namun salah KESIMPULAN. Menyimpulkan bahwa Tuhan memiliki sifat mendengar, melihat, mengetahui, menghendaki sesuai dan menyetarakan dengan sifat-sifat manusiawi. Sifat Tuhan adalah sama seperti sifat manusia. Masing masing memiliki variasi hijab.

KETIGA, YANG TERHIJAB OLEH CAHAYA MURNI SEMATA-MATA. Kategori ketiga ini berjumlah sangat banyak, namun untuk mempermudah bisa dipilah sbb:

(1). Mengetahui benar-benar sifat-sifat Allah SWT tidak sama dengan manusia,

(2). Percaya penggerak semua benda planet ini adalah malaikat yang berjumlah banyak. Percaya bahwa Ar Rabb (Tuhan Maha Pengatur dan Pemelihara) adalah Penggerak seluruh benda. Padahal, Ia wajin DINAFIKAN DARI SEGALA BENTUK KEMAJEMUKAN.

(3). Percaya bahwa Perbuatan MENGGERAKKAN BENDA-BENDA SECARA LANGSUNG sepantasnya merupakan bentuk PELAYANAN KEPADA TUHAN. Percaya bahwa TUHAN MAHA PENGATUR ini adalah memiliki penggerak utama lagi dengan cara mengeluarkan perintah bukan menangani secara langsung. Ringkasnya, mereka yang masih terliputi HIJAB TINGKAT TINGGI ini terhijab oleh CAHAYA-CAHAYA MURNI.

(4). Ini adalah hijab bagi ORANG-ORANG YANG TELAH SAMPAI DI AKHIR PERJALANAN (Al Washilun). Mereka percaya AL MUTHA (yang ditaati) ini, bagaimanapun juga masih memiliki sifat yang berlawanan dengan KEESAANNYA YANG MURNI DAN KESEMPURNAAN YANG MUTLAK. Padahal, YANG DITAATI/YANG DIPATUHI yaitu sesuatu yang menjadi penghubung antara Tuhan dengan alam semesta ini, dalam hubungannya dengan AL WUJUD AL HAQQ adalah seperti matahari dengan cahaya murni atau bara api dalam hubungannya dengan substansi api.

Ini juga hijab bagi mereka yang telah sampai di akhir perjalanan. Yaitu pemahaman bahwa TUHAN ADALAH YANG MAHA TERSUCIKAN DARI PARADIGMA KEMANUSIAAN, baik itu oleh mata maupun oleh mata hati. Mereka mengalami keadaan yang menyebabkan TERBAKARNYA SEGALA YANG PERNAH DICERAP OLEH PENGELIHATAN, lalu ia sendiri ikut larut kendati masih terus menatap KEINDAHAN dan KESUCIAN disamping menatap dirinya sendiri dalam KEINDAHAN yang diraihnya dengan telah mencapai HADRAT ILAHIYAH.

Selain itu, masih ada golongan kecil yang sebenarnya sudah sampai di akhir perjalanan spiritual namun ternyatan masih terhijab, yaitu mereka yang berada pada tingkat KHAWASUL KHAWAS (yang spesial di antara yang spesial). Mereka telah TERBAKAR oleh cahaya WAJAH-NYA dan telah TENGGELAM dalam gelombang KEAGUNGAN. Mereka tidak lagi memiliki perhatian pada diri sendiri, karena DIRI TELAH FANA! Tidak ada satupun yang ada kecuali YANG MAHA SATU DALAM KETUNGGALAN: Ini sesuai dengan Firman-Nya: SEGALA SESUATU BINASA KECUALI WAJAH-NYA.

Yang perlu diketahui, ada pula yang tidak menjalani pendakian atau MIKRAJ dengan cara setahap demi setahap untuk menyingkirkan hijab atau penghalang sebagaimana yang harus dilakoni oleh Nabi Ibrahim Khalilullah A.S. (Sahabat Tuhan). Ada yang cepat telah meraih MAKRIFAT yaitu mampu MENSUCIKAN TUHAN DENGAN CARA YANG BENAR. Mereka tiba-tiba bisa diserbu oleh TAJALLI ILAHI (Ketersingkapan Hijab di antara Tuhan dan manusia) sehingga cahaya-cahaya wajah-Nya membakar segala yang bisa dicerap oleh pengelihatan mata indera maupun mata hati sebagaimana jalan yang dilalui oleh Nabi Muhammad SAW, sang Habibullah (Kekasih Tuhan).

Sumber : Wong Alus